5/15/2006 11:21:00 AM / /

Aryo 2 Inung (2)

Maaf yaa, baru sekarang aku bisa membayar 'hutang'ku. Tapi kali ini, karna kemarin kita memulainya dengan perbincangan mengenai demokrasi, maka aku ingin menegaskan dulu mengenai demokrasi.
Di sekolah, kalau guru bertanya, "Apa itu demokrasi?", dan kita menjawab,"Demokrasi berasal dari kata demos dan cratos yang artinya pemerintahan rakyat : dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat", insya Allah kita bakal dapat nilai seratus. Memang betul, itulah demokrasi.
Dalam sebuah negara (...aku bosan berkali-kali menulis kalimat ini) hidup bermacam-macam masyarakat dari berbagai macam latar belakang, suku, adat, budaya, kepercayaan, kepentingan, dll... Mereka harus diatur dengan sebuah hukum publik bila kita menginginkan sebuah keteraturan.
Pertanyaannya siapa yang berhak membuat hukum? Bila satu orang/kelompok membuat hukum, dia akan cenderung pada kepentingannya sendiri, tapi kalau semua membuat hukumnya sendiri-sendiri, akan timbul benturan antara satu hukum dengan hukum yang lain. Makanya hukum yang sifatnya publik memang harus satu dan itu harus dijalani oleh semua pihak.
Kembali pada pertanyaan semula, siapa yang berhak membuat hukum?

Dengan latar belakang masalah itulah konsep demokrasi mulai disinggung-singgung oleh para filsuf Yunani, jauh sebelum islam datang dan memimpin peradaban dengan sistem khilafahnya. Setelah itu -tanpa diduga oleh siapapun- masyarakat Arab yang terkenal bodoh dan terbelakang, tiba-tiba bangkit dan mulai menaklukkan satu demi satu wilayah di sekitarnya termasuk imperium besar Romawi dan Persia. Hingga tiga belas abad lamanya peradaban cemerlang Islam –yang dinilai ‘terlalu modern untuk ukuran jamannya’- menguasai dunia, dan demokrasi hanyalah seongok ide yang tersimpan di dalam laci berdebu yang tertutup rapat.
Baru setelah Islam kalah pada 1924, demokrasi mulai digagas lagi oleh masyarakat Eropa sebagai ganti pemerintahan gereja yang amburadul. Runtuhlah Islam dan bangkitlah Sekulerisme. Akan tetapi demokrasi tentu hanya satu dari lima pilar negara yang harus ada. Demokrasi hanyalah sistem politik pemerintahan, bagaimana dengan sistem politik ekonominya? Sistem politik sosialnya? Sistem politik pendidikannya? Dan bagaimana pula sistem politik luar negerinya?
Singkat cerita, setelah belakangan kekuatan baru sosialisme-komunis muncul, dan berhasil ditumbangkan juga, demokrasi berjodoh dengan kapitalisme, menghasilkan sistem politik oportunistik, tatanan ekonomi kapitalistik, kehidupan sosial liberalistik-individualistik, orientasi pendidikan materialistik, dan politik luar negeri kolonialistik-imperialistik, yang semuanya bertentangan dengan aqidah islam kita. Inilah peradaban baru dengan sosok adidaya Amerika yang kini memimpin dunia. Bagaimana nasib dunia dibawah naungan ideologi ini? Kita semua bisa melihat sendiri ancurnya.

Bagaimana Melihat Demokrasi?
Dengan paparan barusan tadi, akhirnya sangat naiflah kalau kita melihat demokrasi hanya sebatas mekanisme. Demokrasi adalah satu sistem yang tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya pada keseluruhan sistem yang lain, dimana keseluruhan sistem itu lahir dari latar belakang sejarah revolusi paham sekulerisme yang meyakini bahwa agama harus dienyahkan jauh-jauh dari kehidupan bernegara, ketika sudah jelas kepemimpinan gereja nyata-nyata telah membawa Eropa pada masa-masa gelap.
Kebanyakan orang memang 'kecelik' dengan hanya memandang demokrasi sebagai mekanisme dimana segala keputusan hukum harus diperoleh dari musyawarah mufakat, sehingga tidak boleh ada pihak yang dirugikan atau didiskriminasikan. Atau kalau musyawarah sulit mencapai mufakat, maka jalan terakhir adalah mengambil keputusan dengan suara terbanyak.
Barusan tadi bukan demokrasi, barusan tadi adalah satu sistem mekanisme yang netral, tidak mengandung nilai-nilai atau pandangan-pandangan tertentu.
Dengan salah memahami demokrasi seperti itu memang akhirnya demokrasi dipandang sebagai satu ide luhur yang harus dibela mati-matian dimana lawan demokrasi adalah kediktatoran yang harus dibantai habis-habisan.
Makanya ketika kita menyerukan "Demokrasi sistem kufur yang sebagai seorang muslim kita harus menolaknya mentah-mentah!" kebanyakan orang salah paham dengan langsung menganggap kita sebagai pengusung ide-ide kediktatoran yang berbahaya dan oleh karenanya harus ditumpas habis. Padahal yang kita serukan adalah islam yang tentu juga memiliki mekanisme pengambilan hukum dengan musyawarah dengan perbedaan prinsip.

Perbedaan Islam dengan Demokrasi

Perbedaan islam dengan demokrasi terletak pada sumber kedaulatannya. Demokrasi meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, sementara islam jelas meletakkan kedaulatan di tangan hukum syara.
Artinya, hal-hal yang dimusyawarahkan di dalam islam tentu hanya sumber-sumber hukum syara yaitu Al Qur'an, As Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Kalau ada perselisihan di dalam memahami satu dalil, perbedaan penafsiran atas satu dalil atau perbedaan penafsiran yang bersumber dari dalil yang berbeda bisa diakomodasi dalam satu forum majelis syura untuk musyawarah, diskusi, dialog, atau bahkan perdebatan, semua ada caranya.
Akan tetapi perbedaan pendapat yang bersumber dari selain dalil-dalil syara tentu tidak bisa diterima. Kita tidak mungkin bermusyawarah 'Goyang Inul cs boleh atau tidak?', 'Majalah playboy terbit atau tidak?', 'Blok Cepu dikelola negara atau swasta?', dan lain sebagainya. Dalil syara tidak bisa dikompromikan dengan selain dalil syara.
Sementara dalam demokrasi, semua pendapat baik itu bersumber dari islam, konglomerat, cukong-cukong kaya, pelacur, tukang becak, dan lain sebagainya, semuanya bisa dimusyawarahkan. Oleh karena itu, kalau banyak yang ingin majalah playboy terbit, maka majalah itu bisa terbit. Artinya, pendapat islam hanya dijadikan salah satu sumber yang disejajarkan dengan pendapat dari sumber-sumber yang lain atau bahkan ditempatkan lebih rendah daripada pendapat sumber-sumber yang lain, terutama sumber dari para pemilik modal.
Kita sebagai orang islam mestinya tidak bisa menerima itu.
Walaupun bisa saja kita bermusyawarah dengan para mesumis yang sudah sangat kebelet membaca playboy indonesia, dan ndilalahnya kita menang karna kebetulan suara orang islam kuat dan banyak. Kita menang dengan suara terbanyak dan playboy tidak terbit.
Bisa saja seperti itu, tapi tetap saja pada hakekatnya kita telah berbuat kufur dengan mengakui kedaulatan di tangan rakyat.
Prinsip negara sekarang kan kedaulatan di tangan rakyat? inilah prinsip dari segala pengambilan hukum di Negara kita.
Dan ketika kita meyakini playboy haram dan oleh karenanya tidak boleh terbit selembarpun, apa yang kita perbuat?
Pilihan pertama, apakah kita mengkritisi prinsip negara yang mengatakan kedaulatan di tangan rakyat?
Ataukah pilihan kedua, kita mengikuti prinsip kedaulatan di tangan rakyat dengan mengikuti aturan main itu dan memusyawarahkan pendapat islam kita dengan pendapat-pendapat lain?
Dimana yang namanya rakyat kan ada yang beriman dan ada yang nggak, ada yang taat dan ada yang fasik, ada yang pintar dan ada pula yang bodoh? (Tapi yang jelas semua rakyat yang jenis kelaminnya laki-laki pasti senang/terangsang melihat tubuh polos perempuan lawan jenisnya karna itu fitrah)
Dan kita berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya suara orang muslim, dengan harapan kita menang di dalam musyawarah itu?

Kalau kita mengambil pilihan kedua, maka walaupun kita menang, sesungguhnya kita telah mengakui bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Minimal secara de facto. Dan kita telah berpartisipasi melanggengkan sistem itu.
Kita menang karna kebetulan saja kita menang.
Kita menang tapi sesungguhnya kita punya kemungkinan kalah.
Dan kalau kita kalah, sesungguhnya kekalahan pendapat islam kita melegitimasi kemenangan pendapat munkar yang lain.
Dan kenyataannya kita jauuuuh lebih sering kalah daripada menang.
Bisa dipahamikah hal ini?
Bahwa prinsip kedaulatan di tangan rakyat adalah akar masalah?
Dan terbitnya kontroversi majalah playboy, goyang inul, blok cepu, freeport, adalah sedikit di antara banyaaaaaakkkk sekali masalah-masalah cabang yang muncul?
Sikap kita seharusnya tegas. Kedaulatan hanya ada di tangan syara! Suara rakyat tidak akan pernah menjadi suara Tuhan!
Dan seharusnya Inung nggak terlalu bingung dengan mengatakan, "Belum-belum sudah mau mengganti demokrasi?" Karna demokrasi -dan semua sistem-sistem sekularistik yang terkait dengannya- adalah akar segala masalah.

Kesimpulannya jelas. Kita harus menolak sistem demokrasi.
Demokrasi, baik dilihat dari arti katanya, konsepnya, para penggagasnya, latar belakang kemunculannya, dan realitas penerapannya, semuanya itu tidak nyambung sama sekali dengan islam. Tidak ada hubungan dan relevansinya sama sekali dengan islam.
Dan kalau dipikir-pikir, sejak kemunculannya, demokrasi sebenarnya tidak pernah wujud secara utuh dan konsisten di dunia ini. Kita tidak akan bisa menyebutkan satu negara saja, pada satu masa saja, yang pernah benar-benar demokratis.

Tapi bolehkah kita diam dengan pornografi, privatisasi, dan segala kemunkaran yang sangat memprihatinkan itu? Dengan tidak ikut memperjuangkan pendapat kita akan haramnya semua itu di dalam parlemen?
Tentu kita tidak boleh diam.
Tentu kita harus speak out.
Tentu kita harus berjuang!
Tapi berjuang kan tidak hanya melalui adu pendapat di parlemen yang merupakan lembaga formal kedaulatan di tangan rakyat itu? Yang di sana bisa saja kita kalah, dan kekalahan kita –sekali lagi- akan memperkokoh prinsip kedaulatan di tangan rakyat? Ketika palu diketok, dan keputusan legalnya majalah playboy dicetuskan, mereka akan berkata, “Semua pihak sudah turut bermusyawarah di sini, menyumbangkan pendapatnya, hingga akhirnya semua menyepakati dan mengamini keputusan ini. Oleh karena itu kita semua harus menghormati hak majalah playboy untuk terbit...”
Celakalah kita! Bagaimana pertanggungjawaban kita di hadapan Tuhan nanti?

Karna ada banyak jalur dakwah yang aman.
Kita kan bisa berdakwah di masyarakat?
Kita kan bisa menulis sesuatu dan menyebarluaskannya?
Kita kan bisa posting di tapakkaki?
Kita kan bisa melakukan perang opini di tengah-tengah masyarakat?
Kita kan bisa berunjuk rasa?
Di dalam semua kegiatan itu, kita bisa menyuarakan pendapat mutlak kita dengan aman. Kita bisa mengatakan “Pokoknya goyang Inul, majalah playboy, dan privatisasi haram hukumnya, dan pokoknya kita tidak setuju, dan tidak akan pernah setuju, dan tidak akan pernah menyepakati satupun produk hukum yang melegalkan semua itu!!!”
Aman kan?
Kita bisa ngotot.
Karna yang namanya unjuk rasa ya memang harus ngotot.
Kalau di parlemen, bisakah kita ngotot?
Kalau di parlemen kita ngotot, dijamin SBY akan bilang, "Ke laut ajee!"

Tapi kan yang gitu-gitu itu lebih sering dicuekin? Tidak digubris oleh Negara?
Nelongso banget ya kita? Tapi ya itulah... Namanya juga kita tidak berkuasa.
Makanya, islam harus berkuasa. Segala kerusakan yang ada hanya islam solusinya. Rahmatan lil alamin hanya ada dalam islam, bukannya kapitalisme. Dan segala usaha dakwah menuju perubahan yang dilakukan oleh seluruh individu maupun kelompok kaum muslimin haruslah difokuskan kepada tegaknya kekuasaan islam, terwujudnya prinsip kedaulatan di tangan syara, dan kembalinya kejayaan kaum muslimin di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah berdasarkan metode kenabian.


Islam jauh lebih baik dari demokrasi, maka katakan tidak pada demokrasi!



Labels:

5 comments:

Anonymous on Wednesday, May 17, 2006 11:35:00 PM

Hayooo...
kalian pasti langsung ngeklik comment tanpa bersusah payah membaca dulu pendapat radikalku yang setengah mati kusingkat ini?

He he, nuduh banget yaa.

Nggak papa deh... baca nggak baca, yang penting setuju yaa...?

Anonymous on Wednesday, May 17, 2006 11:35:00 PM

thx aryo tuk penjelasannya.

memang, unjuk rasa, debat, ato apa ajah membutuhkan apa yg kita sebut ngotot.
ngotot saja akan membuat kita malu dengan kekalahan jika tidak didasari sesuatu yg bisa kita andalkan. sesuatu yg bisa kita jadikan senjata ngotot itu. lah ... klo aku yg disuruh ngotot 'dg bekal yg ga cukup' mana bisa? jujur aja aku ga banyak tau ttg semua itu (agama jg msh minim nih),hehehehe (kok jd serius).

mang banyak sih yg lagi memperdebatkan masalah ini itu, salah satunya ya majalah playboy itu, tp gmn kita bisa ngotot, orang aku aja blum pnh baca dan membukanya, huahahaha. tus ... utk membuka dan membacanya itu kan merupakan dosa, bukankah dosa paling sering kita lakukan melalui kelima indera kita, dan tanggung jawabnya gede juga lho ... di akhirat kelak.
melihat gambarnya aja udah dosa, apalagi membaca yg huh...#:-S

Anonymous on Wednesday, May 17, 2006 11:35:00 PM

yang kumaksud ngotot bukannya anarkis lho.
cuma sekedar pernyataan sikap aja, ngomong doang, negasin sikap, dan cari pendukung.
kewajibannya kan emang gitu aja. kalo nggak bisa ngomong, yaa pake hati yang selemah-lemah iman.

kalo masalah bekal, emang kita semua harus masih terus belajar.

tapi kan kita nggak dituntut bisa menghukumi sendiri
kan ada ulama
kan ada mujtahid

dan untuk bilang playboy haram, gak harus baca dululah.

untuk bilang bir haram juga gak harus nyicipin dulu.

Anonymous on Monday, February 05, 2007 10:41:00 PM

Keep up the good work Lcd panasonic projection review tv Shopping for digital cameras Top rated cosmetics cadillac seville with continental kit for sale Las vegas car dates bbbj

Anonymous on Friday, February 23, 2007 4:09:00 AM

What a great site Anime sex gallary The all natural breast enhancement formula One a day vitamins weight smart Mercedes benz a 140 mp3 player

Post a Comment