Kenikmatan Derita...
Pagi mulai menjelang. Tak terdengar kokoan ayam. Nggak ada ayam hutan kali ya, atau jangan – jangan mereka lagi flu karena dingin banget??
Kami berencana turun pukul tujuh tepat. Kami segera packing barang-barang dan bersih-bersih. Ketika kami datang tak ada sampah yang berserak, begitupun ketika kami pergi, seperti peraturan tak tertulis kami “tak boleh mengambil apapun kecuali gambar, tak boleh meninggalkan apapun kecuali jejak kaki dan tak boleh membunuh apapun kecuali waktu.”
Tapi maaf ya Tapak Bima, beberapa anggota pemula kami mengambil edelweiss dari sisimu. Sebenarnya sudah kami wanti-wanti tapi mereka justru ngeyel, biasalah orang yang minta pengakuan. Mungkin kami memang belum pantas disebut Pecinta Alam, lebih tepatnya kami disebut Penikmat Alam. Maafkan kami Tapak Bima.
Jam menunjukkan angka enam lima belas, anak-anak dari Gepalassa Pareanom berangkat duluan. Mereka masih ada acara katanya. Ya terpaksa kami biarkan duluan. Kami hanya memberitahu supaya hati-hati saja, karena mereka baru pertama kali ndaki Tapak Bima. Takutnya kesasar lewat jalur Telaga Ngebel, jalur besar yang lain. Yang biasa buat ndaki anak Ponorogo.
Jam menunjuk angka enam empat lima. Setelah berfoto-foto sebentar kami segera turun. Aku dibarisan belakang. Dan akhirnya merangsek kedepan. Agar rencanaku lewat jalur telaga ngebel berhasil. Aku segera memacu kecepatan. Aku lihat dipersimpangan jalan antara jalur Mendak dan jalur telaga Ngebel ada bekas tapak kaki. Setelah beberapa saat berjalan, ada juga ingus dan ludah yang berceceran di alang-alang. Aku mulai curiga, sepertinya jalur ini baru saja ada yang ngelewati. Apakah mungkin anak-anak dari Gepalassa Pareanom tadi, kesasar kemari. Kalau memang bener, mereka akan sangat jauh memutar, kasihan oey.
Kami terus mempercepat langkah. Sempat istirahat beberapa kali, karena stamina mulai menurun. Sambil menahan haus karena kami kehabisan air, kami terus melangkah. Akhirnya kami bertemu dua anak rombongan dari Gepalassa tadi. Ternyata mereka bener-bener kesasar. Anak yang lain menunggu dibawah. Mereka akan naik lagi menuju jalan dimana mereka salah jalan tadi. Kamipun hanya bisa tertawa melihat kebingungan mereka. Akhirnya kami turun bersamaan. Kasihan juga melihat mereka. Padahal mau cepet-cepet malah akhirnya turunya barengan.
Sekira satu setengah jam kami sampai dirumah penduduk terdekat. Jalur ini lebih pendek untuk jarak dari desa terakhir disbanding jalur Mendak. Kamipun pisah di pertigaan desa terakhir tersebut. Yang kekanan menuju Mendak, yang kekiri telaga Ngebel.
Jalur ke telaga Ngebel ternyata masih jauh, karena jalannya memutari bukit. Akhirnya kami memutuskan potong kompas saja, mengkuti arus air yang mengarah ke telaga. Jalannya pun tak bisa dibilang muda. Sulit bahkan. Tapi asyik. Selalu disisi sungai. Suara gemericik airnya membuat rombongan kami yang mulai kelelahan kembali bersemangat.
Kami terus berjalan melewari pinggir sungai. Sempat beberapa kali ketemu dengan penduduk sekitar. Kami terus melangkah dan melangkah.
Aku merasa jalan kami tadi sudah cukup jauh. Kami memutuskan untuk naik ke punggungan bukit. Dan ternyata, kami udah turun cukup jauh dari telaga. Anjrit!!
Kami ketemu dengan dua nenek-nenek yang pulang dari belanja dari pasar Ngebel, mereka ngasih tau kalau kami udah kelebihan. Mereka nunjukin jalan ke Ngebel. Dan jalan itu membuat kami harus kembali berjalan naik. Asem tenan!!
Kami segera mempercepat langkah. Robert dan Tharom udah tak sabar. Setelah melihat telaga dari punggungan, kami langsung turun dengan berlari. Semangat kami yang tadi meluntur menguat kembali. Rasa lelah yang tadi menggelayut seperti sirna seketika.
Sekira jam sepuluh pagi kami sampai juga di pinggir telaga. Masjid jadi tujuan kami. Mandi, makan sisa-sisa perbekalan dan istirahat. Robert alias Sodik yang anak Ponorogo punya teman yang jualan jagung baker di pinggir telaga. Dia nyamperin anak itu yang aku lupa namanya. Lumayanlah dapet jagung bakar gratis.
Siang itu telaga Ngebel ramai sangat. Terutama mereka-mereka pemuja hedonime. Berpelukan, ciuman di pinggiran telaga jadi hal biasa. Rasa malu mereka mulai memudar kurasa. Ya mungkin itu imbas budaya barat yang merasuki wilayah kami. Sayang budaya kerja keras mereka tak ikut masuk juga.
Kami istirahat sembari bercengkrama di pinggir telaga. Mana makan jagung bakar gratis pula. Tapi sayang kami hanya bisa melihat pasangan-pasangan muda itu. Secara kami cowok semua… hehehehe…
Setelah sholat jumat, kami mutusin segera balik ke rumah. Secara kami cowok semua, kami mutusin nyari tumpangan truk aja, nyari gratisan. Sambil jalan kaki, kami nyegat truk-truk yang lewat. Akhirnya kami dapat juga tumpangan. Tapi truk itu abis ngangkut gamping, akhirnya baju kami kena gamping semua dech.
Di pertigaan daerah sekira lima kilometer dari telaga, truk berbelok ke arah berlawanan dengan arah kami. Terpaksa kami turun. Jalan ke arah bawah, sambil nyegat truk yang lewat. Akhirnya kami dapet juga tumpangan. Sekarang dapet truk ngangkut pasir. Yang terpaksa berkotor-kotor ria lagi dech. Akhirnya sampai juga di jalan negara Ponorogo - Madiun. Kami nyari tumpangan lagi. Sekarang agak sulit sih. Karena truknya banyak yang nggak mau dicegat. Mungkin takut ma wajah2 kami yang kayak berandalan ini…(baru nyadar ya???)
Sekira satu jam menunggu akhirnya ada juga truk yang mau kami tumpangi. Truk ini abis ngankut telur ayam. Lengkap sudah penderitaan kami. Badan capek, baju kotor, sekarang bau telur busuk lagi. Tapi nikmat sih… Penderitaan kalo kita syukuri akan nikmat juga lho rasanya….(Tamat)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
mangtrabsss... kapan lagi yaaaa... ^_^
mungkin kita bisa ndaki leuser kapan2...
tentunya kalo aku udah ada duit..
tunggu aku di sana!!!
Post a Comment