duduk diam

8/03/2008 06:13:00 PM / /



Ketika saya berbicara dengan adik-adik saya, saya melihat mereka dengan keinginan merubah. saya mendengar kata-kata mereka dan menerjemahkannya menurut nilai-nilai saya. dari situ timbul konsepsi tentang "perubahan yang baik" yang harus saya tanamkan kepada mereka. Yang kemudian terjadi adalah saya mendominasi, mengarahkan, dan sedih jika mereka tidak melakukan apa yang menurut saya adalah langkah menuju kebaikan.

Tapi siapakah saya yang berhak memaksakan "kebaikan" pada seseorang ? walaupun itu adik saya sendiri ? (bahkan kapasitas seorang Nabi pun diberi tahu agar tidak bersedih atas kaum yang tidak mau mendengarkannya, karena memberi hidayah adalah hak mutlakNya) Dan mungkin, yang mereka butuhkan bukanlah seseorang yang "memaksakan nilai" bukan seseorang yang "mencoba merubah mereka" tapi seseorang yang sekedar mau "mendengar".

Mungkin ini alasan kenapa banyak anak-anak lebih dekat dan bisa ngobrol berjam-jam kepada teman daripada kepada orangtua. Karena orangtua cenderung merasa lebih berpengalaman, lebih merasa tau apa yang baik. Sehingga apa yang terlontar dari mulut anak, diterjemahkan orangtua menurut nilai2 kebaikan dan rangkaian pengalaman yang telah mereka alami. Sebuah pertanyaan ingin tahu dari anak berubah menjadi monolog nasehat sehari-semalam dari orangtua.

Saya belum menjadi orangtua, tapi sebagai anak pertama saya kerap memposisikan diri saya sebagai duta orangtua bagi adik2 saya. Mungkin perasaan inilah yang membuat saya bertindak mirip orangtua.

Disebuah interaksi dengan seorang adik saya, keinginan merubah ini saya rasakan membatasi kemampuan saya untuk mendengar secara jernih. Menghilangkan detil-detil dan mengarahkan saya pada sebuah solusi penyederhanaan berdasarkan kacamata saya. Ketika berfokus kepada solusi itu, saya menghilangkan secara brutal kemungkinan-kemungkinan lain yang jumlahnya tak berhingga.

Dan terutama, ini tidak saya terapkan hanya pada orangtua, rekan kantor, adik-adik, teman2 yang datang meminta/memberi nasehat, tapi juga pada saat saya memandang diri sendiri. Secara tidak sadar saya mengetahui sebenarnya terdapat tak terhingga jalan menuju puncak, tapi secara tidak sadar juga saya berfokus pada sebuah atau beberapa gang sempit seolah hanya itu jalan yang ada. Konflik ketidaksadaran-ketidaksadaran ini adalah sumber perasaan "tidak lengkap" yang saya alami. Sesuatu yang hilang itu mungkin adalah alternatif2 yang secara tidak sadar saya eliminasi.

Lalu apakah artinya saya tidak boleh berfokus pada satu jalan ?

Hmm...pada akhirnya saya akan memilih, dan pada akhirnya saya akan berjalan pada satu jalan dalam satu waktu. Tapi jalan itu bukanlah harga mati. Karena saya sadar bahwa jalan itu hanyalah salah satu dari banyak alternatif. Saya tidak lagi kecil hati ketika mengetahui orang lain melaju di jalan mulus beraspal dan saya ada di gang sempit becek. Mungkin gang ini adalah jalan singkat menuju bandara, atau mungkin juga jalan buntu yang mengharuskan saya memutar balik. Tapi yang lebih penting lagi adalah melihat apa yang ada dijalan yang saya lewati. Karena setiap perjumpaan adalah caraNya berbicara pada saya.

Mungkin selama ini saya tidak pernah mendengar Dia berbicara karena saya terlalu sibuk membandingkan, terlalu sibuk merencanakan, terlalu sibuk menginginkan. Dan kata-kata beningNya tertelan dalam gelombang kerewelan permohonan-permintaan saya.

salam temans, kapan terakhir kali anda duduk diam tanpa permintaan-permintaan, keluh-kesah ataupun kesibukan pikiran ?

Labels:

0 comments:

Post a Comment