5/02/2008 09:32:00 PM / /

Harta Karun Untuk Semua

oleh Dewi Lestari

Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari Amazon.com datang. Ada satu buku

yang langsung saya sambar dan baca seketika. Judulnya: "Stuff ,The Secret

Lives of Everyday Things". Buku itu tipis, hanya 86 halaman, tapi informasi

di dalamnya bercerita tentang perjalanan ribuan mil dari mana barang-barang

kita berasal dan ke mana barang-barang kita berakhir.

Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa plastik memakan waktu

ratusan tahun untuk musnah, saya sering merenung: orang gila mana yang

mencipta sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi masa penggunaannya hanya

dalam skala jam-bahkan detik? Bungkus permen yang hanya bertahan sepuluh

detik di tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah dan baru hancur

setelah si pemakan permen menjadi fosil.

Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa plastik, tanpa cat, tanpa

deterjen, tanpa karet, tanpa mesin, tanpa bensin, tanpa fashion. Dan sebagai

konsumen dalam sistem perdagangan modern, sejak kita lahir rantai

pengetahuan tentang awal dan akhir dari segala sesuatu yang kita konsumsi

telah diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau tahu ke mana

kemasan styrofoam yang membungkus nasi rames kita pergi, berapa banyak pohon

yang ditebang untuk koran yang kita baca setengah jam saja, beban polutan

yang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabi-buta.

Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa berpikir, yang terasa

wajar-wajar saja, pernahkah kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kita

bisa menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat berat tubuh kita

sendiri?

Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk mencuci

secangkir kopi, kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu lapis daging

burger yang mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar 2,400 liter

air. Produksi satu set PC seberat 24 kg yang parkir di atas meja kerja kita

menghasilkan 62 kg limbah, memakai 27,594 liter air, dan mengonsumsi listrik

2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang bekerja di dalamnya? Limbah yang

dihasilkan untuk memproduksinya 4,500 kali lipat lebih berat daripada berat

chip itu sendiri.

Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan berbagai reaksi.

Kita bisa frustrasi karena terjepit dalam ketergantungan gaya hidup yang tak

bisa dikompromi, kita bisa juga semakin apatis karena tidak mau pusing. Yang

jelas, sesungguhnya ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya dibuka.

Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang daun dan membedah jantung

katak, dapat dibuat lebih empiris dengan mempelajari hulu dan hilir dari

benda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung jawab akan alam ini telah

disosialisasikan sejak kecil.

Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung FO empat lantai, Pasar

Baru, atau berjalan-jalan ke Gasibu pada hari Minggu di mana ada lautan PKL:

tidakkah semua baju dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan penduduk

satu kota ? Tapi kenapa barang-barang ini tidak ada habisnya diproduksi?

Setiap hari selalu ada jubelan pakaian baru yang menggelontori pasar.

Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki hypermarket dan melihat ratusan

macam biskuit, ratusan varian mie instan, dan ratusan merk sabun:haruskah

kita memiliki pilihan sebanyak itu?

Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan sesungguhnya jauh melebihi

apa yang kita butuhkan?

Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalam

setahun, bahkan lebih. Atas nama fashion, jumlah itu menjadi tidak berbatas.

Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa pilihan

panganan dalam sehari. Atas nama selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan

sanggup memenuhi keinginan satu manusia.

Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai kaca mata. Seorang ekonom

mungkin akan menyalahkan sistem kapitalisme dan globalisasi.

Seorang sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan pemerataan.

Tapi jika kita runut, satu demi satu, bahwa Bumi adalah kumpulan negara,

negara adalah kumpulan kelompok, dan kelompok adalah kumpulan individu,

permasalahan ini akan kembali ke pangkuan kita. Dan kesadaran serta kemauan

kitalah yang pada akhirnya akan memungkinkan sebuah perubahan sejati.

Belum pernah dalam sejarah kemanusiaan keputusan harian kita menjadi sangat

menentukan. Tidak perlu menunggu Amerika menyepakati protocol Kyoto , tidak

perlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap, setiap langkah kita-memilih

merk, kuantitas, tempat, gaya hidup-adalah pilihan politis dan ekologis yang

menentukan masa depan seisi Bumi.

Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah instrumen saya bekerja,

tapi saya bisa lebih awas dengan jam penggunaan dan mematikannya jika tidak

perlu. Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan informasi, tapi saya bisa

memilih membaca berita lewat internet atau membaca koran di tempat publik

ketimbang berlangganan langsung. Bagaimana dengan fashion?

Di dunia citra ini, dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di muka

publik, saya pun belum bisa mengorbankan keperluan fashion (baca: membeli

busana lebih sering dari yang dibutuhkan), tapi saya bisa membuat komitmen

dengan lemari pakaian, yakni baju yang saya miliki tidak boleh melebihi

kapasitas lemari saya. Jika lebih, maka harus ada yang keluar. Dan setiap

beberapa bulan saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ada baju yang tidak saya

pakai setahun lebih atau baju yang cuma sekali dipakai dan tak pernah lagi.

Bukan cuma baju, ada juga buku, pernik rumah, alat dapur, bahkan sabun dan

sampo yang utuh tak disentuh.

Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti 'harta karun', yang

berisikan barang-barang yang harus keluar dari peredaran, karena jika

dipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi unsur manfaat. Harta karun

ini lantas harus dicarikan lagi outlet untuk penyaluran.

Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan bazaar.

Para warga menyewa stand untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dan

sayalah satu-satunya penjual barang bekas di antara penjual barang-baru

baru. Karena bukan demi cari untung, barang-barang itu saya lepas dengan

harga sangat murah. Yang membeli bukan cuma warga kompleks, tapi juga dari

kampung sekitar. Hari pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksa saya

mengontak saudara-saudara saya yang barangkali juga punya barang bekas untuk

disalurkan. Sama dengan saya, mereka pun punya timbunan harta karun yang

entah harus diapakan. Stand saya menjadi salah satu stand paling laris

selama bazaar berlangsung. Dan kakak saya terkaget-kaget dengan penghasilan

yang ia dapat dari tumpukan barang yang sudah dianggap sampah.

Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan, ada aneka cara kreatif

lain untuk memanfaatkan harta karun kita, termasuk juga disumbangkan.

Namun yang lebih sukar adalah memulai membuat komitmen-komitmen pembatasan

diri. Berkomitmen dengan rak buku, dengan lemari pakaian, dengan rak kamar

mandi, dengan laci dapur, dan pada intinya... dengan diri sendiri. Siapkah

kita menentukan batasan dan berjalan dalam koridor itu?

Dan, yang lebih susah lagi, adalah pengendalian diri dari awal bersua aneka

pilihan yang membombardir kita setiap hari, lalu sadar dan mawas akan rantai

sebab-akibat yang menyertai pilihan kita. Membuka diri untuk info dan

pengetahuan ekologi adalah salah satu cara pembekalan yang baik.

Walaupun sekilas tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantong kresek

yang kita buang tadi pagi tidak akan hilang oleh sihir, dan hamburger yang

kita makan tidak dipetik dari pohon. Rantai yang menyertai barang-barang itu

tidak akan hilang hanya karena kita menolak tahu.

Banyak orang yang berkomentar pada saya, " Aduh , Wi . Kamu bikin hidup tambah

susah saja." Dan mereka benar. Hidup ini tak mudah. Untuk itu kita justru

harus belajar menghargai setiap jengkalnya. Memilih hidup yang lebih

sederhana, hidup dengan tempo yang lebih pelan, hidup dengan pengasahan

kesadaran, tak hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi juga

membantu Bumi ini dan jutaan manusia yang dijadikan alas kaki oleh industri

demi pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri.

Lingkaran setan? Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup berubah.

Selama ini kita adalah pembeli yang berlari. Dalam kecepatan tinggi kita

bertransaksi, sabet sana sabet sini, tanpa tahu lagi apa yang sesungguhnya

kita cari.

Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan.

Labels:

2 comments:

Comment by Awan on Monday, May 12, 2008 9:58:00 PM

tulisan dee reflektif bgt yaks... thx dhien 4 sharing...

Comment by Andhien's Journey on Tuesday, May 13, 2008 10:48:00 PM

you are welcome
mas awan...

Post a Comment