Kembalilah Tersenyum - 1

1/30/2008 07:05:00 PM / /

Hari ini adalah sebuah perjalanan yang cukup melelahkan, kereta api yang ku naiki melaju dengan cepat, kereta api yang setiap harinya selalu dipenuhi dengan padatnya para penumpang yang hendak pulang menemui keluarganya yang menunggu kedatangan mereka. Suara para pedagang silih berganti bersorak-sorai sambil sahut-menyahut menjajakan dagangannya. Tampak para penumpang yang berdiri tak henti-henti menyibak peluh yang mengalir terus di permukaan wajah dan tubuhnya. Terlihat raut-raut iri melihat para penumpang yang duduk sambil tertidur pulas (..ups..sambil ngorok dan beriler lagi). Hilir mudiknya para pedagang, lalu lalangnya para penumpang yang turun dan naik, membuat suasana didalam kereta api semakin ramai.

Memang terkadang sering muncul rasa sebal dalam diriku karena kondisi kereta yang nyaris memprihatinkan, para pemilik tangan panjang (read : pencopet) selalu siap mengancam para penumpang yang lengah terhadap barang bawaannya dan perhiasan lainnya, bahkan aksi yang mereka lakukan terkadang secara terang-terangan mereka lakukan. Ditambah lagi dengan sesaknya penumpang yang sulit untuk bergerak, udara yang tidak bersahabat dengan berbagai aroma yang timbul. Tapi itulah sebuah realita hidup yang harus kuterima. Siapakah yang salah.. ??? yah..tapi tak ada gunanya mencari siapa yang salah hanya untuk menyalahkan, setiap pihak punya tanggung jawabnya masing-masing.

Tapi dibalik semua itu masih banyak hal-hal yang bisa membuat ku tersenyum dengan berbagai tingkah polah para penumpang yang berusaha melakukan sebuah hiburan sebagai bahan penghilang jenuh dan bosan.

Tak terasa hari mulai senja, matahari pun pun mulai merona memerah tampak tersipu malu, dengan perlahan ia tenggelam untuk menyinari bagian bumi yang lain, gelap pun mulai menghampiri menyelimuti hari ini. Tak lama kemudian kereta pun telah sampai di tempat tujuanku, kulangkahkan kakiku melangkah menuju istana mungil milik kedua Pohon Cintaku. Perlahan ku berjalan…dengan penat yang masih terasa di kakiku. Akhirnya sampailah aku di istana mungil itu dengan warna yang merona kekuning-kuningan menggambarkan kegembiraan ku saat itu.

Ternyata pintu istana itu tampak tak tertutup. "Assalamu’alaikum….."….ucapan yang pertama kali ku dendangkan, ku uratkan seutas senyuman dan tampak bidadari kecil "keponakanku" tertawa menjerit menyambut kedatanganku, kuhampiri ia dan seutas ciuman manis pun ia semaikan di pipiku, semua tertawa saat bidadari kecil itu menciumku, kusalami Ayahku, kakak-kakakku, tetapi ada sesuatu yang terasa kurang di sudut bangku ruang tamu, Ibuku dengan wajah yang sedikit redup tanpa seutas senyumpun terjulai dari bibirnya, kuhampiri ia dan ku genggam tangannya dan kucium dengan rasa sayangku. Memang sudah hampir dua bulan ini Ibuku sakit, ia hanya menghabiskan waktunya terbaring di tempat tidur. Tubuhnya lemas, senyumnya yang mulai luntur, keceriaan yang tak tampak lagi dari dirinya.

Dahulu ibuku adalah seorang yang Hebat, ia wanita yang Power Full, gigih, penuh semangat dengan bekerja membanting tulang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Pagi sebelum kami terjaga ia sudah rapih bersiap berangkat untuk mencari sesuap nasi dengan merapihkan dan menggunting rambut orang-orang kebetulan profesi ibuku seorang tukar cukur, di temani ayahku karena ayahku seorang pedagang yang hampir setiap harinya berada di tempat keramaian. Dengan modal seadanya mereka mengais rezeki di rantau orang (oh..iya..Aku dari kelurga perantau dari Ranah Minang ). Menumpang dirumah orang itulah awal hidup keluargaku di Rantau.

Sebelum merantau, dahulu di kampong, ayahku terbilang pengusaha yang cukup sukses, sebagai seorang penyortir kerbau dalam jumlah yang lumayan banyak di pasar taranak ( tempat transaksi), saat itu boleh dikatakan ayahku sudah menjadi Bos karena sudah bermain dalam partai penjualan yang cukup besar. Dari situlah perekonomian keluarga ku mulai bangkit, pertama yang Ayahku lakukan adalah membangun gubuk kecil nan sudah reot. Ayahku sering bercerita dan terkadang ia sedih, karena ledekan dari warga kampung terhadap gubug Kakek dari Ibuku tempat ayah dan keluargaku tinggal itu merusak pemandangan kampung, sehingga sebaiknya di buang saja karena kebetulan gubug itu berada di pinggiran jalan, alhasil Ayahku harus menggeser gubug itu jauh kebelakang sehingga jarak gubug itu menjadi jauh dengan bibir jalan, karena memang ayah dan ibuku berasal dari keluarga yang sangat miskin, tetapi walaupun mereka miskin materi, mereka tidak miskin hati, tapi mereka kaya akan semangat.

Akhirnya gubug yang tadinya reot sekarang sudah kuat berdiri tak goyah lagi di tebas angin meskipun masih sederhana. Dan usaha ayahku pun semakin maju, tak lama berselang sebuah motor berwarna hitam pun neBenk..!! dengan genitnya di depan rumahku, yang sehari-hari di pergunakan Ibuku untuk mengantar sekolah kakak-kakakku, tak hanya si hitam, si merah pun ( sebuah motor ) ikut neBenk lagi di pekarangan. Saat itu kampung ku belum masuk listrik, ayahku lah yang membuat pancang listrik yang pertama (maklum..Bos..he3.."Afwan").

Tetapi ternyata Allah punya rencana lain buat keluargaku, Allah berkehendak lain, usaha yang telah dibangun ayahku dari bawah itu harus bangkrut karena kasus penipuan yang dilakukan oleh rekan usahanya. Akibatnya utang kesana-kemari. Jual ini dan itu. Bangkrut…itulah mungkin kata yang tepat untuk keluargaku saat itu, karena perekonomian keluarga yang semakin terperosok akhirnya Ayahku memutuskan untuk cari peluang di Negeri Jiran (uh…Ilegal loh..) selama beberapa tahun untuk membiayai anak-anaknya. Tapi malang tak dapat dihalau, dan ternyata memang benar bahwa suatu saat cara yang salah pasti akan mendapatkan akibatnya, saat akan melakukan perjalan pulang ke kampung dengan kapal Tongkang, ternyata polisi laut mengetahui kapal yang illegal itu dan menangkap seluruh awak penumpang itu, dan jadilah beberapa hari harus tidur dalam sel (… kebanyakan cerita yah…).


Kembali ke Rantau, sampai dimana yah jadi lupa…., (oh ya)…menumpang dirumah orang, yach…itulah awal keluarga ku dirantau dengan membawa ketiga anaknya dan ketiga anaknya yang lain termasuk aku di titipkan di kampung. ayahku mencoba mencari peluang untuk yang kesekian kalinya, kali ini tujuannya adalah Pulau Jawa. Dengan modal badan dan pakaian yang melekat pada badannya ayahku mulai mencoba berdagang dengan pinjam modal sana-sini, dagang pete di emperan, dagang es, bahkan hampir semua nya sudah ia jalani. Yang penting Halal. Bayangkan anak yang harus dibiayai enam orang, tetapi penghasilan dirantau pun masih belum tetap dan bahkan super seadanya. Ayahku yang hanya tamat SR (Sekolah Rakyat) begitu juga Ibuku, tak mengenal putus asa, tak merasa rendah diri, dengan gigih mereka berjuang dirantau orang meski menumpang, dan makan seadanya. Semoga Allah memuliakan mereka.

Setelah ayahku dapat penghasilan yang cukup tetap meskipun belum stabil, aku dan kedua kakakku yang di titipkan di kampung dibawa kerantau. Semenjak itulah aku belajar arti hidup, karena ia selalu membawaku yang saat itu masih belum sekolah untuk berdagang di emperan (kaki Lima), yang selalu kuingat ia selalu meletakkan ku diatas ambennya yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Tak lama berselang setelah semua keluarga berkumpul di rantau, kami pun mulai mengontrak rumah walaupun dengan kontrakan yang serba wah ( wah…baunya…., wah…kotornya…wah…kecilnya…,wah…), Ayahku mulai berdagang pakaian anak-anak, dan akulah sebagai maskotnya karena aku selalu di letakkan diatas barang dagangannya….he…he…dengan perawakan kurus dan kecil di tambah dengan kulit yang sawo kematengan (…jadinya item deh..).

Tapi baru sampai disitu adalah proses yang panjang dan tak mudah bagai membalikkan telapak tangan, semua itu butuh pengorbanan yang mungkin setiap orang tak sanggup menghadapinya dan kalah serta mengalah oleh keadaan. Dengan modal nol dan sebuah keberanian dari tuntutan hidup yang membuat Ayah dan Ibuku kuat, mungkin karena kehidupan di kala kecilnya yang membuat mereka seperti itu, ayahku yang hanya sebagai tukang cangkul sawah orang, tukang angkut hasil panen, terkadang di beri upah terkadang tidak, membajak sawah. Sedangkan ibuku hanya pesuruh untuk mengantarkan nasi kesawah-sawah orang. Bagai "DuO sejoli", Terkadang Aku ikut terharu dan sedih di saat mereka menceritakan masa lalunya, dimana binar-binar air mata terlukis dari wajah mereka, dimana sebuah kenyataan yang harus mereka akui dengan melihat orang yang berada saat itu makan makanan yang enak, sedangkan mereka makan dengan serba seadanya. Tapi itulah jua yang mungkin membuat mereka tegar.

Tulisan mereka bukanlah dari sebuah pena, bacaan mereka bukanlah buku, ilmu mereka bukanlah sebuah pendidikan yang jauh bagaikan angan-angan, kesusahan adalah pena mereka, kenyataan hidup adalah ilmu mereka. Walau keadaan mereka susah tapi mereka tak membuat diri mereka bertambah susah.



Labels:

0 comments:

Post a Comment