Suara Anang membangunkan lamunanku. Airmata kembali menetes disana. Dipipiku yang penuh dosa. Anang membesarkan hatiku. Tapi aku tak kuasa menahan lelehan air mata yang makin menderas.
Ingatanku bergerak liar. Kelebatan memori bersliweran di otakku. Sekarang, aku telah beranjak dewasa. Senyum agungmu terus tersungging. Segunung dosa telah kubuat. Bahkan ibu terus melindungi. Dari hujan dan badai dunia. Diperantauan ini sekarang ibu. Aku hanya bisa berdoa untuk semuanya. Baru itu yang bisa aku lakukan. Baru itu yang bisa aku jalankan. Tak bisa aku melakukan yang lebih. Maafkan aku ibu. Maafkan dengan tulus. Aku yakin tanpa memintapun aku pasti mendapatnya.
Air mata tak kuasa aku hentikan. Cintamu begitu tulus dan agung. Terimalah secuil baktiku ini. Aku akan berusaha untuk lebih baik. Sekedar untuk menghadirkan senyum diwajahmu yang makin menua. Sekedar membuat lega hari-harimu sekarang ini. Aku berjanji. Setulus-tulusnnya. Sebenar-benarnya.
Klakson yang keras membuyarkan lamunanku kembali. Aku hanya bisa tepekur dengan doa. Jalanan yang sepi itu makin serasa sangat jauh bagiku. Otakku serasa mau meledak. Aku hanya ingin segera bertemu dengan beliau.
Sampai juga di Pekanbaru. Kami langsung menuju Bandara. Memesan tiket penerbangan pertama menuju Jakarta. Tak ada penerbangan ke Surabaya hari itu. Setelah menunggu, boarding dan duduk di pesawat, hatiku makin berderit. Air mata kembali meleleh.
Belum ada yang bisa aku persembahkan. Belum ada yang bisa aku baktikan. Cintamu begitu tulus tak bertepi. Ketika ku berangkat merantau tuk kuliah, ibu beriku doa dan cinta yang tulus. Walau kuliahku molor dan hasilnya kurang memuaskan, justru ibu yang membesarkan hatiku. Mengisi hari-hari terberatku dengan nasehat dan cinta. Tuhan ganti saja nyawa beliau dengan nyawaku. Aku mohon.
Tak terasa pesawat memasuki bandara Soekarno-Hatta. Aku terdiam dalam kelam duniaku. Anang dan Reifky membimbingku menuruni pesawat. Dunia serasa berhenti berdetak bagiku. Tuhan aku mohon dengan sepenuh jiwa.
Handphoneku kembali berdering. Suara kakakku serak menanyakan posisiku. Ibuku makin kritis. Seluruh keluaga besar ibu dan ayahku sudah berkumpul di rumah sakit. Hanya aku yang tak ada. Anang membeli tiket jurusan Solo. Hanya tersisa satu saja. Terpaksa mereka melepasku dengan berat hati. Mereka akan langsung ke Surabaya saja. Pesawat ke Surabaya selalu ada hampir tiap jam.
Setelah memasuki pesawat Garuda jurusan Solo aku kembali termenung. Suara wanita disebelahku memecahkannya. Setelah berbasa-basi sebentar, aku langsung tenggelam dalam lamunan dan kenangan. Tak berasa mataku sembab. Tak sampai meleleh memang. Laiknya anak kecil yang tertinggal di terminal sendirian. Sunyi dalam keramaian. Semua beban rasanya tertimpa di badanku. Aku tak kuasa Tuhan. Jangan panggil beliau Tuhan. Aku mohon.
Setelah dibandara Adi Sumarmo Solo, handphone kembali aku nyalakan. Masuk sebuah sms dari nomor kakakku. Aku tak perlu ke rumah sakit, langsung saja ke rumah. Tak mungkin ibuku telah tiada. Aku tak percaya. Ibuku masih hidup, begitu teriakku memecah keramaian bandara. Ibuku masih hidup. Aku yakin!!
Kakiku bergetar dan melemas. Untung ada dua orang yang segera memapahku ke kursi tunggu. Setelah menenangkan diri langsung ku telepon hp kakaku. Suara kakaku sayup” kudengar. Aku hanya berpesan untuk menungguku. Sampai kedatanganku. Taksi datang dan langsung meluncur ke rumah. Ku suruh sopir memacu mobilnya sekencang-kencangnya.
Aku duduk di kursi belakang dengan lelehan air mata tanpa henti. Hpku kembali bergetar. Suara sepupuku diseberang sana menayakan posisiku. Kujawab sekenanya. Tapi maksimal dua jam aku sudah sampai dirumah. Begitu kataku.
Mulai kutanyakan pada diriku kenapaku mendaki gunung waktu liburan ini. Mulai kutanyakan keadilan Tuhan. Kutantang kembali Tuhan untuk menggatikan nyawa ibuku dengan nyawaku. Kurasakan keadilan itu begitu jauh disana. Lelehan air mataku makin menderas. Aku yakin ibuku masih ada. Tapi keyakinan itu memudar entah kenapa.
Hpku kembali bergetar. Tulisan Anang Hp tertera disana. Ku jawab sekenanya saja. Aku masih dalam perjalanan menuju rumahku. Ibuku tak lagi dirawat dirumah sakit.
Kulihat bendera putih di depan gang rumahku. Aku yakinkan itu bukan bendera kematian ibuku. Langsung kubuka pintu taksi yang berjalan pelan. Sambil berleleran air mata aku lari memasuki rumah. Kakak dan sepupuku memegangiku karena badanku terhuyung-huyung.
Tak ada kata” yang bisa terucap. Aku tak tahu. Aku ingin keluarkan semua. Aku ingin menyumpahi Tuhan. Dia tak adil siang ini. Dia tak adil.
Setelah tenang aku beranjak disamping beliau. Aku tak tahan dengan semuanya. Darahku seperti diubun”. Bertumpuk-tumpuk berat tak alang-kepalang. Aku seperti tak kuasa menahanya.
Ku terpekur disamping beliau. Akh aku tak kuasa menahan ini. Terlalu berat beban ini Tuhan. Bantulah aku Tuhan. Mataku berlinang air mata. Tak tertahankan.
Aku terdiam seperti aku tak disitu. Aku tak tahan. Selebatan ingatan-ingatan itu kembali berkecamuk. Aku ingin menghilangkan sejenak itu. Aku tak kuasa. Aku tak kuasa. Semakin aku berontak justru ingatan itu semakin kuat. Kuat sekali malah.
Masa kecil digendonganya. Aku menetek tanpa ampun sampai Taman Kanak”. Ibu memberi pelajaran” hidup dari mulai tak bias baca, diajarinya aku walau kadang sampai menangis. Baik huruf latin maupun arab. Akhhhhh, aku tak kuasa Tuhan.
Keranda itu berarak dari rumahku menuju kuburan desa tak jauh dari rumahku. Semua ritual telah aku lalui. Aku tepekur di samping pusara beliau. Maafkan aku ibu. Maafkan.
Labels: Awik
1 comments:
maap
maap banget!!
sekali lagi ini cuma fiksi belaka lo!!
kalo ada persamaan tempat dan nama itu hanya kebetulan belaka!!
maap bgt yah!!
Post a Comment