Lintas Bumi Mojopahit
Jam tiga aku bangun. Tharom udah nggak ada di tempatnya. Nggak tau kemana, paling-paling lihat-lihat makam. Makam tampak lengang. Hanya ada satu dua yang lalu-lalang. Kenduri yang kami tunggu-tunggu ternyata tidak ada, untung tadi udah makan di warung.
Sekira sepuluh menit, Tharom datang. Setelah cuci muka dan buang air kecil, kami langsung ke base camp. Disana-sini banyak orang tiduran dipinggir jalan. Anak-anak MAN Dolopo pun masih tertidur pulas. Masih ada beberapa warung yang buka. Kamipun masuk ke salah satunya. Pesan dua kopi panas dan makan jajanan yang masih tersisa. Kami ngobror dengan peserta yang lain untuk membunuh kebosanan dan sang waktu. Sejam kami di warung, kami beringsut keluar. Kami bergegas ke halaman rumah tempat tidur anak man dolopo. Beberapa sudah ada yang bangun. Kami ngobrol ngalor ngidul, tentang beberapa pendakian yang membawa kesan mendalam, tentang keangkeran gunung Wilis, dan satu lagi promosi tentang Gunung Tapak Bima yang eksotis yang ada di wilayah Madiun. Siapa tau kedepanya akan menyaingi keterkenalan Gunung Lawu.
Sekira jam lima pagi, aku dan Tharom beranjak pergi. Pengen ngelihat Candi Kedaton yang berjarak sekitar tigaratus meter dari base camp. Candinya masih dalam taraf pemugaran. Ada beberapa orang yang tidur di pos jaga masuk kawasan candi. Nggak tau itu penjaga atau anak yang mau ikut Lintas Alam. Kami keliling sekitar setengah jam. Hanya ada pondasi-pondasi yang masih dalam proses penggalian. Sayang kami nggak bawa kamera untuk dokumentasi.
Karena candinya nggak asik, kami buru-buru pergi saja. Langsung ke warung deket base camp. Panggilan perut menuntun kami kesana. Kami langsung pesen nasi lodeh kayak kemarin. Eh nggak ada. Karena mengikuti permintaan beberapa peserta yang lain, menunya hari ini nasi pecel. Setelah menunggu lama, karena banyak yang antri, akhirnya kami terlayani juga. Sebenarnya menunya mirip yang kemarin cuma dikasih sayuran dan sambal pecel sedikit. Sayur lodehnya sih masih ada. Ya lodeh+pecel.
Jam enam pagi peserta mulai berkumpul di base camp. Startnya nggak jadi jam tujuh. Tapi jam enam tigapuluh. Ada beberapa rombongan dengan pakaian pramuka lengkap barusan datang. Mereka paling rapi dan tertib. Aku dan Tharom nggak jadi mendaftar, hadiahnya nggak menarik. Ya cukup jadi partisipan aja dech.
Dengan iringan doa kami segera berangkat. Aku ada dibarisan belakang. Tharom entah kemana. Setelah aku telfon ternyata dia sudah ada didepan. Ada peserta yang cukup berumur, setelah aku Tanya umurnya sekitar enam puluh tujuh tahun. Mbah Mangil namanya. Aslinya sih Ismail. Trus ada juga banci yang ikut. Dua orang, tapi item-item dan nggak ada cakep-cakepnya.
Kami lewat jalan beraspal sekira satu kilo meter kearah selatan. Aku berjalan beriringan dengan Mbah Mangil, biar semangat, masak kalah sama mbah-mbah, begitu pikirku. Sambil berjalan dia menceritakan perjalanan-perjalanan yang pernah dilakoninya. Termasuk pernah nyasari di lereng Gunung Slamet, Purwokerto, menyusuri jalan dan bukit dari Garut sampai Ciamis dsb. Tharom berjalan agak pelan, katanya sih mesinya belum panas. Setelah jalanan aspal, jalur berbelok ke barat menyusuri jalanan desa yang masih makadam. Setelahnya menyusuri pematang sawah yang mulai mengering karena kemarau. Nggak tau berapa kilometernya, karena nggak bawa speedometer…
Sayup, sayup aku dengar suara yang sangat familiar. Suara Tharom, dia menyusulku sambil setenah berlari, mesinnya udah mulai panas. Ini yang paling males jika lintas alam, lewat sungai. Setelah berdebu-debu dengan sawah kering, kami diharuskan menyusuri sungai. Emang sih, airnya masih sangat jernih. Tharom sempat meminumnya. Tapi basahnya itu yang bikin males.
Jam delapan kami sampai di pos satu. Pos tersebut berada di pinggir sungai. Ada beberapa petugas yang bagian menilai dan mencatat. Tapi kami tak menghiraukan. Kami terus saja berjalan. Jalan agak terjal sekarang. Naik bukit kecil di hutan jati yang mulai meranggas. Kira-kira naik lima puluh meter ada orang pingsan disitu. Eh ternyata anak Man Dolopo. Tubuhnya lumayan subur dan baru pertama kali ikut lintas alam. Temen-temenya sebagian melanjutkan dan sebagian menunggu. Katemu lagi dengan Trio Bidadari dari Man Dolopo yang semalem itu. Anggotanya masih tetap, Lina, Rey dan Hanik. Temen-temenya kurang bertanggung jawab, setelah ada kami mereka segera bergegas pergi. Gimana ya, rasanya pengen ketawa lihat orang pingsan, tapi kasihan juga sih, makannya aku empet sampai entar sang pingsang nggak lihat lagi. Tharom langsung mengambil alih si pingsan. Dia pijit kaki dan badanya, entah apa maksunya, sekira tiga menit si pingsan langsung siuman dan muntah-muntah. Setelah mulai sadar dan ada panitia yang datang, kami segera melanjutakan perjalanan. Meyusuri hutan jati Anggas Wesi yang mulai meranggas dan panas banget, membuat keringat bercucuran, ya lumayan membakar lemak sih. Sejalan dengan program pengurusan badanku. Sekira lima belas menit berjalan kami bertemu lagi dengan rombongan Trio Bidadari, mereka ditinggal temen-temenya cowok yang lebih cepat. Akhirnya kamipun berjalan beriringan. Ketika jalan menanjak, ada hal yang asik, melihat mereka terengah-engah kepayahan sambil ketawa. “Tertawa diatas penderitaan orang lain” memang asik kok. He…he…he…
Kasihan juga melihat mereka kepayahan, akhirnya aku berinisiatif menawarkan tarikan tangan kepada mereka jika jalanan menanjak. Masih sambil tertawa tentunya.
Oh iya kami sempat melihat manusia gua di Hutan Anggas Wesi. Mereka berdiam di gua yang mereka sebut Gua Anggas. Aku nggak sempat nanyain udah berapa lama mereka tinggal, tapi kelihatanya sih udah lama banget.
Jam sembilan kami sampai di Pos Dua, di hutan desa Watuseno, ini masuk wilayah Jombang lho. Jadi kami lintas kabupaten, Mojokerto-Jombang. Kami segera mempercepat perjalanan. Trio Bidadari juga makin semangat saja. Sekira jam sembilan tigapuluh kami sampai di pos tiga, yang masuk juga wilayah desa Watuseno. Ini sudah masuk wilayah perkampungan. Kata panitia finis tinggal dua kilo lagi. Ah itu mah biar kita nggak down mentalnya, biasanya sih dua kali lipatnya.
Setelah jalan berdebu yang melelahkan, akhirnya masuk juga jalan aspal, pertanda finis udah deket. Kata panitia sih tinggal sekilo lagi. Trio Bidadari sudah nggak sabar lagi menuju finis. Mereka mengajak berlari menyusuri jalanan aspal. Sekira jam sepuluh kami sampai juga di finis. Di balai desa Lebak Jabung yang masuk daerah Kabupaten Mojokerto. (bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment