tentang hati...

10/26/2007 12:20:00 AM / /

Duka Kuta duka kita

(Kompas, 6 Oktober 2007)

Lima tahun lalu, tepatnya 12 Oktober 2002, untuk pertama kali bom teroris meledak di Kuta, Bali. Ratusan nyawa melayang. Kendati warga Australia yang paling banyak mendapat korban, di depan kematian yang menyayat tidak lagi relevan bercerita tentang kewarganegaraan. Lebih relevan bercerita tentang derita-derita manusia.

Semua manusia mau bahagia, tetapi keseharian sebagian manusia menimbulkan luka penuh derita. Melalui kebencian, kemarahan, dan dendam membuat manusia terus menumpuk derita.

Serangan teroris 11 September 2001 atas gedung kembar World Trade Center AS memang sebuah kegelapan. Kegelapan ini mau diselesaikan dengan kegelapan lain melalui serangan AS dan kawan-kawan ke Afganistan dan Irak.

Kemudian, terjadilah bom Bali kedua, bom teroris di turki, bom bunuh diri di Irak, penyanderaan orang Korea di Afganistan, peledakan bandara di London, dan bom-bom susulan lengkap dengan amarah dan dendamnya. Sudah mulai tersebar luas berita dan analisis bahwa nasib AS di Irak akan serupa dengan di perang Vietnam.

Bercermin dari sini, peradaban sedang berkejaran dari satu kegelapan kebencian menuju kegelapan kebencian yang lain. Dalam hal ini Bali sedang berbagi cahaya-cahaya pemahaman. Mungkin benar pendapat sejumlah aktivis perdamaian, Bali adalah pusaka perdamaian dunia.

Berbagi cahaya
Di Bali pernah terjadi, bagaimana kebencian bom teroris-kendati terjadi dua kali-tidak disusul kebencian lain yang lebih besar. Kebencian, kemarahan, dan dendam direspons dengan tangan-tangan yang bersalaman dan berpegangan.

Haji Bambang dan kawan-kawan serta Nyoman Bagiana Karang dan kawan-kawan di Kuta seperti tidak tersentuh kegelapan dendam, kemarahan, dan kebencian. Kemudian melangkah terang memperingan beban banyak sekali derita manusia.

Sekian tahun setelah derita Kuta terjadi, Haji Bambang telah menerima banjir penghargaan dari dalam ataupun luar negeri. Nyoman Bagiana Karang sudah menjadi anggota DPRD. Pulau Bali berturut-turut mendapat predikat pulau terbaik di dunia sebagai tujuan wisata oleh sejumlah media bergengsi tingkat global. Seperti sedang berbagi cahaya-cahaya pemahaman, di mana kebencian tidak dilawan dengan kebencian, kemarahan tidak diikuti kemarahan, dendam tidak dibalas dengan dendam. Di sana kebencian, kemarahan dan dendam berubah menjadi kekaguman.

Melalui cara berespons seperti ini, tidak hanya Bali yang sedang melukis berbagai keindahan kedamaian, tetapi juga Islam-melalui keteladanan Haji Bambang dan kawan-kawan-sedang melukis keindahan-keindahan kedamaian. Tidak saja di Timur Tengah sana pernah lahir keteladanan islami yang menyentuh hati. Di Bali juga pernah lahir keteladanan islami yang menyentuh hati.

Tanpa bertanya judul agamanya apa, Haji Bambang dan kawan-kawan lupa dendam, lupa kemarahan, lupa kebencian, lupa ketakutan akan kematian-karena situasi saat itu demikian mencekam-kemudian bahu-membahu meringankan tidak sedikit derita manusia.

Dengan kejadian ini, Bali seperti mau membuka kembali wajah Islam yang indah, rahmatan lil-alamin (menjadi berkah bagi sesama).

Derita, cinta dan kedalaman
Sebagaimana diceritakan banyak kisah manusia, derita memang berwajah ganda: menyakiti atau membuat suci. Derita menyakiti jika manusia penuh api dendam dan sakit hati, lalu di balas dendam dan sakit hati yang lebih besar. Demikian ia menggelinding seperti bola salju yang kian membesar dari hari ke hari.

Derita membuat suci bila manusia sadar bahwa dalam derita ada bimbingan kehidupan. Meminjam pengalaman orang-orang sufi, bila dalam daun jatuh saja ada pesan kehidupan, apalagi dalam derita yang memakan ratusan nyawa manusia. Jika manusia berkonsentrasi kepada bimbingan kehidupan dalam setiap kejadian, derita bisa membuat manusia mendekati cahaya. Jangankan dalam terang, dalam gelap pun cahaya itu datang. Cahaya ini juga yang membimbing Kuta saat digoda derita.

Dalam kearifan Timur, derita adalah momentum membayar utang kita ke kehidupan, orang tua, guru, dan kekeliruan-kekeliruan masa lalu. Siapa saja yang melawan tidak hanya gagal membayar utang, ia malah menciptakan baru. Siapa yang mengalir dalam derita, ia sedang membayar utang dengan ikhlas lalu bebas.

Dan, yang penuh keberuntungan adalah mereka yang dibuat suci oleh derita. Terutama karena melalui tidak terhitung jumlah derita, ia sedang membuat dirinya memiliki a boundless capacity to suffer –kemampuan untuk menderita secara tidak terbatas. Ia sudah seagung samudra, apapun yang dilemparkan kesana tidak terpengaruh. Tidak terbayang agungnya kehidupan jika kematian disambut dengan cara seperti ini.

Kebahagiaan memang menawan, tetapi tidak mengajarkan apa-apa. Derita memang penuh air mata, tetapi teramat banyak manusia yang dibuat lebih sempurna oleh derita. Jalalludin Rumi bercahaya akibat derita kehilangan guru dan buku. Kahlil Gibran lahir dan tumbuh dalam penderitaan. Arjuna meraih pencerahan dalam kesedihan amat mendalam. Pema Chodron memasuki gerbang pencerahan setelah langit kesetiaannya pada suami diruntuhkan perceraian.

Derita kerap membuat manusia peka dan mudah terhubung. Di atas semua ini, derita memaksa manusia menyadari secara mendalam bahwa dirinya saling terhubung dengan makhluk lain dalam jejaring laba-laba yang bernama kehidupan. Apa pun yang dilakukan manusia dalam jejaring ini, baik-buruk, suci-kotor, benar-salah, akan kembali ke dalam dirinya.

Karena itu, tidak berlebihan kalau disimpulkan bahwa derita Kuta derita kita juga. Bukankah dalam bunga mawar ada unsur bukan bunga mawar (tanah, air, sinar matahari)? Bukankah dalam kekejaman teroris ada jejaring kebencian manusia yang berumur ribuan tahun? Bukankah derita Kuta sedang mengingatkan manusia hanya dengan cinta kita bisa bahagia? Rupanya derita membuka jendela cinta.

Pencari-pencari ke dalam diri-melalui puasa, meditasi, zikir, kontemplasi, dan yoga-teramat jarang yang berdoa agar mengalami derita. Namun, tetap saja derita berkunjung sebagai tamu kehidupan. Kadang datang melalui bencana, kematian, kesialan, dan kegagalan. Namun, siapa saja yang telah diterangi pemahaman “derita membuka jendela cinta” tahu bahwa derita juga sebentuk cahaya penerang perjalanan. Bukankah kedalaman (depth spirituality) hanya membuka diri kepada batin yang menemukan puncak keheningan dalam aneka guncangan?

Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin

GEDE PRAMA
Bekerja di jakarta, tinggal di
Daerah Perbukitan Desa Tajun,
Bali Utara


Ga sengaja nemu artikel ini di bagian opini nya kompas. Pas ditengah baca2 kok style nya mirip sama salah satu penulis favoritku, ternyata bener pengarangnya mbah gede prama.

Bukan apa2 si, kebetulan beberapa hari sblm nemu artikel ini ak diskusi ama seseorang tentang “dendam” dan “sakit hati”. Dan di tulisan diatas walo berlatarkan kejadian di pulau dewata sana, tapi esensi yg ingin dikemukakan adalah seni menghadapi penyakit hati khususnya dendam.

Sekedar pingin nambahin, ada satu ayat yg ak anggap relevan ama hal ini. bunyinya kurang lebih “barangsiapa bersyukur maka akan Kutambahi nikmat tapi barangsiapa lalai akan nikmat yg Ku berikan, maka azabKu amat pedih”. Lah terus apa hubungannya ? orang lagi kena masalah, sakit hati kok malah disuruh bersyukur? Justru ak lihat disini intinya. Dalam tiap keadaan selalu ada yg bisa disyukuri. Pun ketika masalah menimpa kita, masih selalu ada yg bisa disyukuri. Masih diberi udara untuk bernafas, masih diberi mata untuk melihat... dikasi lidah buat ngrasain tomyam... itung sendiri deh... (niscaya tidak akan bisa menghitung rahmatKu) nah ketika kita bersyukur maka kita akan merasa lebih baik. Jika dikaitkan dengan The Law of Attraction yg disebut2 dlm The Secret-nya Rhonda Byrne. Pikiran yg penuh rasa syukur, dan bahagia akan menarik hal2 yg baik kedalam kehidupan seseorang. Ada jg yg bilang kalo syukur adalah doa yg paling baik. Dan orang yg kaya bukanlah orang yg banyak hartanya, tp yg senantiasa bersyukur. Masuk akal juga sih, orang kaya adalah orang yg ga pernah kekurangan = orang yg selalu bersyukur. Walaupun menggunakan sudut pandang keyakinan yang berbeda, Neale D. Walsch dlm Conversation with God juga mengatakan bahwa syukur bukanlah proses pasif, tapi justru proses yang aktif. Dengan bersyukur maka kita mengakui bahwa kita berkelimpahan, dan kemudian mulai bergerak dengan berfokus pada apa yang kita miliki dan bukan terbebani dengan apa yg telah hilang.

Option lain selain bersyukur adalah “lalai dengan nikmat yg diberikan”. Yaitu di tiap keadaan, terutama ketika keadaan dirudung masalah. Seringkali kita menyesali apa yg telah hilang. Padahal menurut hakekatnya inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Tidak ada yg namanya “kehilangan”, yg ada hanya “kembali”. Kita menyesal hilangnya sebuah hubungan, kita menyesal hilangnya sebuah barang, kita menyesal hilangnya uang, kehormatan dan lain sebagainya. Jika kemudian didalam proses permasalahan itu ternyata berkaitan dengan seseorang. Maka kemudian kita mendendam kepada orang tersebut. “karena orang itu... jadinya ak kehilangan....” padahal semua sdh ada yang ngatur. Dan yang ngatur itu nunggu2.... kita mau bersyukur... ato lalai akan nikmatku. Nah... seringkali kita memilih yg kedua... mendendam... sakit hati... mencoba membalas... mencoba merebut kembali... menyakiti orang lain... gak terima... didalam proses itulah janji ayat itu berlaku.... “azabKu amat pedih” ini adalah azab ketika di dunia, yaitu perasaan benci... dengki jika orang yang kita anggap musuh kita mendapatkan sesuatu, berusaha mencari cara untuk membalas sehingga hidup kita tidak produktif lagi... ak si pernah ngerasain... ga enak banget... tp dasar blm dikasi pencerahan terus aja pengen ngebales... sampe bener2 ngerti... lg di azab. Nah setelah bener2 kerasa ga enak banget.... baru deh...nyadar. kemudian membenahi diri... bahwa apa yg dilakukan sangat destruktif dan hidup jadi sia-sia klo kita cmn berkutat dlm pemikiran pembalasan sakit hati.

Beberapa nasihat yg ak dapet dalam proses peralihan dari keinginan membalas sakit hati menjadi bersyukur adalah bahwa kita jauh lebih baik dibandingkan musuh kita. Hmm.. mungkin kata2 ini berkesan sombong, tp maksudnya gini. Jika ada orang yang melakukan tindakan jahat ama kita, kemudian kita berusaha bales maka derajat kita sama dengan musuh kita. Makanya menurut cerita ada salah seorang tokoh besar yang dilempari kotoran tiap hari oleh seseorang, tp ketika suatu hari orang itu sakit malah dijenguk oleh tokoh besar tersebut. Menurut bahasa gede prama : sudah seagung samudra... apapun yg dilemparkan kedalamnya.... tidak akan terpengaruh....

moga2 kita bisa bersama jalan kearah itu....

Labels:

2 comments:

Comment by Aliep "aWik " Purwandono on Sunday, October 28, 2007 7:56:00 PM

Tulisan yang mencerahkan. Tidak sia-sia dulu anda saya didik, he..he…he, sudah ada perubahan signifikan dalam diri anda, dari dulu jalur preman, jalur angkot dan akhirnya sekarang udah mulai ke jalur kiai. Bagus2.
Tapi mungkin ada satu lagi yang bisa melengkapi syukur, sabar. Jika syukur dan sabar sudah menyatu, samudra dalam diri kita akan makin luas dan dalam. Semoga!
Terus belajar, terus bekerja, terus membaca, terus menulis dan bersiap hidup miskin.

Comment by Awan on Friday, November 02, 2007 6:46:00 PM

perubahan apa boss... masih aja gurimi..hehe... poko'na mah... SALAM SELERA RAKYAT !!!

Post a Comment