Nilai menurutku adalah efek/akibat dari suatu perbuatan. Jadi dia konkret, dan oleh karenanya untuk beberapa kondisi, terutama dalam konteks komunal dia harus ditentukan secara obyektif. Maka dari itulah kadang kita menemui orang yang memaksakan nilai yang dia yakini pada orang lain. Karena ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, maka nilainya tidak akan berputar-putar hanya pada dia saja.
Kita beli narkoba, beli, beli sendiri, pake duit, duit sendiri, nyuntik, nyuntik sendiri, sakaw, sakaw sendiri, kena aids, aids sendiri, mati, mati sendiri. Bisakah seperti itu? Kalaupun terjadinya seperti itu, tetap saja akan melibatkan perasaan orang lain yang mencintai kita. Orang tua kita, saudara kita, sahabat-sahabat kita... Maka dari itu, please... janganlah sinis pada orang lain yang kadang sok memberitahu kita tentang apa yang harus kita lakukan. Imam Syafi’í saja, ulama sekaliber beliau, mengatakan ”antum rijal wa nahnu rijal...” ingat?
Akal atau perasaan? Ketika aku menerima pembinaan, dikatakan potensi manusia itu dua, akal dan nafsu. Jadi mungkin perasaan dinilai sama dengan nafsu? Tapi jangan buru-buru protes, nggak usah repot repot, karna kita juga bukannya menilai nafsu itu buruk. Nafsu itu diberikan oleh Allah juga, jadi pastilah dia bukannya sesuatu yang buruk. Akal/rasio tidak perlu didewakan, perasaan/nafsu tidak harus disingkirkan. Keduanya adalah anugerah yang mesti dimanfaatkan secara proporsional.
Kalau aku tetap berpendirian bahwa akal haruslah ditempatkan di atas perasaan (dan di atas itu semua adalah wahyu Tuhan). Aku mungkin bisa berbohong pada perasaanku sendiri, tapi tidak akan pernah bisa berbohong pada keyakinanku sendiri. Kebanyakan orang justru sebaliknya, dan itu salah menurut keyakinan yang benar-benar kuyakini seyakin-yakinnya.
Pengalaman? Tidak perlu dibahas. Setiap kehidupan manusia adalah pengalaman baginya, dari mulai sperma ketemu ovum, sampai nafas terakhir. Kalau ada orang yang mengurung dirinya dalam sebuah ruangan dan menghabiskan hidupnya membaca buku-buku, itu adalah pengalaman baginya, dan sebelum dia menyadari bahwa semua itu adalah buruk dia sudah lebih dulu mati.
Aku tidak akan pernah bisa membenarkan konsep yang terlalu naif seperti ’mengharapkan kejutan dari perbuatan yang tidak dipikirkan/direncanakan’. Aku pikir kenaikan BBM, aids, aborsi, utang luar negri, deforestasi, bandung lautan asmara, dan sebagainya, bukanlah kejutan yang menyenangkan.
Dan kupikir itu juga nggak fitrah. Kalau kita menyalakan sebuah dinamit tanpa rencana, tanpa pengetahuan, setidaknya kita pasti mengharapkan dia meledak mengeluarkan hamburan kertas warna-warni, hamburan kado-kado, dan ucapan selamat ulang tahun yang meriah, atau dia meledak dan muncul jin sakti yang bisa mengabulkan tiga permintaan, dimana kita bisa minta tiga permintaan lagi pada permintaan ketiga, dan begitu seterusnya (which is never happen). Tapi ketika dia meledak yang terjadi adalah ’kejutan’ yang sama sekali tidak membahagiakan dimana kita bahkan tidak akan sempat menyesalinya.
Itu gua... kalo lo?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
This is very interesting site...
tvs phentermine online pdas car price quotes cadillac dealer oakland adams mark hotel
Post a Comment