Surat seorang murid: Hampir Dua Bulan

1/28/2009 06:49:00 AM / / comments (2)

Guru...
Hampir dua bulan saya mencoba berbisnis.Dan selama itu pula saya merasakan gejolak yang turun naik. Kadang saya merasakan ide-ide bermunculan dan selanjutnya menelan saya dalam semangat untuk mengerjakannya. Dilain waktu ide-ide itu terasa hambar, seperti makanan kemarin... dingin, hampir basi, tidak lagi mengundang selera. Kemudian ada saat saya merasa amat yakin bahwa saya bisa sukses. Dikali lain saya merasakan ketakutan yang amat besar tentang kehilangan uang, tentang jalan yang saya pilih, tentang masa depan.

Jiwa saya masih labil Guru,
Mungkin saya masih dalam proses transisi. Karena sebelumnya saya tidak perlu pusing memikirkan cara mendapatkan uang. Dan sekarang saya harus bertanggung jawab kepada diri sendiri untuk sekedar membiayai hidup. Dibandingkan gaji saya sebelumnya, apa yang saya dapatkan ini baru 12.5% nya saja. Entah mungkin karena sebelumnya gaji karyawan saya memang besar, atau mungkin juga karena pendapatan bisnis saya yang kecil.

Ah Guru...
Kadang tergoda saya untuk kembali lagi jadi seorang karyawan. Tapi entah mengapa saya terus berada disini. Saya teringat dirimu pernah berkata: "Barang siapa yang bisa memandang ketakutannya, tidak akan pernah lagi menjadi orang yang sama". Dan disini saya memandangnya tanpa langsung berlari...

Guruku tersayang,
Malu rasanya bila ada yang bertanya tentang pekerjaan. Sungguh sulit menjawabnya. Bila saya berkata aktifitas saat ini adalah berbisnis, pasti dia akan mengejar "bisnis apa?". Bila saya jawab sedang bisnis batik, pasti dia akan kembali bertanya "masukin kemana?". Kemudian saya harus menjawab bahwa pengiriman saya terakhir adalah ke beberapa kota dan sebuah negara. Lalu saya dikira pebisnis yang banyak uang. Padahal apa yang saya kirimkan hanya berupa hitungan puluhan pcs saja. Belum pantas diceritakan, hasilnya juga belum seberapa, tapi pertanyaan itu akan selalu muncul untuk dijawab...

Apalagi jika bertemu dengan saudara-saudara yang mempertanyakan kenapa saya keluar dari pekerjaan yang mapan. Atau kenapa saya tidak bekerja di perusahaan dimana mayoritas teman-teman kuliah saya sekarang bekerja. Industri yang sedang menjadi primadona. Terpandang, dan mulai menata keluarga.

Guru...
Maaf jika semua ini terdengar seperti keluh kesah... Tapi inilah saya yang yang bersimpuh jujur bercerita kepada mu Guru, juga kepada diri sendiri. Karena saya masih teringat apa yang kau ucapkan, bahwa kejujuran adalah langkah awal untuk maju. Mengakui kondisi saat ini untuk bertindak. Menerima saya apa adanya agar bisa berbuat yang terbaik untuk saat ini.

Guru...
Tak terasa hampir 2 bulan saya telah lewati hari-hari seperti ini. Jika memang ini adalah fase saya bertemu rasa takut, bertemu rasa bingung, bertemu kebimbangan...biarlah...saya ikhlas... toh semua pendaki gunung pasti pernah merasakan tersesat dalam perjalanannya menuju puncak, biasa mengalami kebingungan menentukan arah di pekat malam, seringkali merasa takut dan khawatir dalam pendakian asing. Menggigil menahan dingin yang menusuk... Dan mengapa pula dia tidak tinggal di rumah saja? Berbaring di kasur hangat, nonton dvd beserta camilan?

Akan saya ingat ilustrasi pertanyaanmu terakhir itu Guru, bukan untuk dijawab tp untuk terus ditanyakan pada diri sendiri pada saat takut, bingung, dan bimbang datang menyapa...

salam...muridmu...

Labels:

Kaya Karena Sederhana

1/14/2009 11:32:00 PM / / comments (0)

by Gede Prama


Menjadi orang kaya, itulah cita-cita banyak sekali orang. Hal yang sama juga pernah melanda saya. Dulu, ketika masih duduk di bangku SMU, kemudian menyaksikan ada rumah indah dan besar, dan di depannya duduk sepasang orang tua lagi menikmati keindahan rumahnya, sering saya bertanya ke diri sendiri : akankah saya bisa sampai di sana ?. Sekian tahun setelah semua ini berlalu, setelah berkenalan dengan beberapa orang pengusaha yang kekayaan perusahaannya bernilai triliunan rupiah, duduk di kursi tertinggi perusahaan, atau menjadi penasehat tidak sedikit orang kaya, wajah-wajah hidup yang kaya sudah tidak semenarik dan seseksi bayangan dulu.

Penyelaman saya secara lebih mendalam bahkan menghasilkan sejumlah ketakutan untuk menjadi kaya. Ada orang kaya yang memiliki putera-puteri yang bermata kosong melompong sebagai tanda hidup yang kering. Ada pengusaha yang menatap semua orang baru dengan tatapan curiga karena sering ditipu orang, untuk kemudian sedikit-sedikit marah dan memaki. Ada sahabat yang berganti mobil termewah dalam ukuran bulanan, namun harus meminum pil tidur kalau ingin tidur nyenyak. Ada yang memiliki anak tanpa Ibu karena bercerai, dan masih banyak lagi wajah-wajah kekayaan yang membuat saya jadi takut pada kekayaan materi.

Dalam tataran pencaharian seperti ini, tiba-tiba saja saya membaca karya Shakti Gawain dalam jurnal Personal Excellence edisi September 2001 yang menulis : ‘If we have too many things we don’t truly need or want, our live become overly complicated‘. Siapa saja yang memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul dibutuhkan, kehidupannya akan berwajah sangat rumit dan kompleks.

Rupanya saya tidak sendiri dalam hal ketakutan bertemu hidup yang amat rumit karena memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul diperlukan. Shakti Gawain juga serupa. Lebih dari sekadar takut, di tingkatan materi yang amat berlebihan, ketakutan, kecemasan, dan bahkan keterikatan berlebihan mulai muncul.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana tidur saya amat terganggu di hari pertama ketika baru bisa membeli mobil. Sebentar-sebentar bangun sambil melihat garasi. Demikian juga ketika baru duduk di kursi orang nomer satu di perusahaan. Keterikatan agar duduk di sana selamanya membuat saya hampir jadi paranoid. Setiap orang datang dipandang oleh mata secara mencurigakan. Benang merahnya, kekayaan materi memang menghadirkan kegembiraan (kendati hanya sesaat), namun sulit diingkari kalau ia juga menghadirkan keterikatan, ketakutan dan kekhawatiran. Kemerdekaan, kebebasan, keheningan semuanya diperkosa habis oleh kekayaan materi.

Disamping merampok kebebasan dan keheningan, kekayaan materi juga menghasilkan harapan-harapan baru yang bergerak maju. Lebih tinggi, lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Demikianlah kekayaan dengan amat rajin mendorong manusia untuk memproduksi harapan yang lebih tinggi. Tidak ada yang salah dengan memiliki harapan yang lebih tinggi, sejauh seseorang bisa menyeimbangkannya dengan rasa syukur. Apa lagi kalau harapan bisa mendorong orang bekerja amat keras, plus keikhlasan untuk bersyukur pada sang hidup. Celakanya, dalam banyak hal terjadi, harapan ini terbang dan berlari liar. Dan kemudian membuat kehidupan berlari seperti kucing yang mengejar ekornya sendiri.

Berefleksi dan bercermin dari sinilah, saya sudah teramat lama meninggalkan kehidupan yang demikian ngotot mengejar kekayaan materi. Demikian tidak ngototnya, sampai-sampai ada rekan yang menyebut saya bodoh, tidak mengerti bisnis, malah ada yang menyebut teramat lugu. Untungnya, badan kehidupan saya sud> ah demikian licin oleh sebutan-sebutan. Sehingga setiap sebutan, lewat saja tanpa memberikan bekas yang berarti.

Ada sahabat yang bertanya, bagaimana saya bisa sampai di sana ? Entah benar entah tidak, dalam banyak keadaan terbukti kalau saya bisa berada di waktu yang tepat, tempat yang tepat, dengan kemampuan yang tepat. Ketika ada perusahaan yang membutuhkan seseorang sebagai pemimpin yang cinta kedamaian, saya ada di sana. Tatkala banyak perusahaan kehilangan orientasi untuk kemudian mencari bahasa-bahasa hati, pada saat yang sama saya suka sekali berbicara dan menulis dengan bahasa-bahasa hati. Dikala sejumlah kalangan di pemerintahan mencari-cari orang muda yang siap untuk diajak bekerja dengan kejujuran, mereka mengenal dan mengingat nama saya. Sebagai akibatnya, terbanglah kehidupan saya dengan tenang dan ringan. Herannya, bisa sampai di situ dengan energi kengototan yang di bawah rata-rata kebanyakan orang. Mungkin tepat apa yang pernah ditulis Rabin Dranath Tagore dalam The Heart of God : ‘let this be my last word, that I trust in Your Love‘ . Keyakinan dan keikhlasan di depan Tuhan, mungkin itu yang menjadi kendaraan kehidupan yang paling banyak membantu hidup saya.

Karena keyakinan seperti inilah, maka dalam setiap doa saya senantiasa memohon agar seluruh permohonan saya dalam doa diganti dengan keikhlasan, keikhlasan dan hanya keikhlasan. Tidak hanya dalam doa, dalam keseharian hidup juga demikian. Ada yang mau menggeser dan memberhentikan, saya tidak melawan. Ada yang mengancam dengan kata-kata kasar, saya imbangi secukupnya saja. Ada sahabat yang menyebut kehidupan demikian sebagai kehidupan yang terlalu sederhana dan jauh dari kerumitan. Namun saya meyakini, dengan cara demikian kita bisa kaya dengan jalan sederhana.

Labels:

Mr Cinema

1/12/2009 07:36:00 AM / / comments (0)

Akhir-akhir ini saya jarang nonton film.
Hampir ga pernah.
Saya sampai lupa film apa yang terakhir kali saya tonton.

Tapi malam ini, saya secara tidak sengaja menonton sebuah film yang sangat menyentuh.
Judulnya Mr Cinema.
Bercerita tentang idealisme beserta kegetiran dalam mempertahankannya.
Bagaimana jika kita bisa memegang prinsip, tapi orang2 yang kita sayangi menginginkan hal yang lain ?
Terselip cerita cinta.
Simple tanpa umbar romantisme fisik. Tapi sangat mengena.

Berkali-kali perasaan saya diaduk2 oleh plot film ini.
Tertawa geli dalam perselisihan antara bapak dan anak.
Trenyuh mendengar kelembutan seorang ibu yang mendamaikan keadaan yang panas.
Bertanya-tanya "inikah nasib orang yang memegang idealisme?"
Toh akhirnya hidup telah mengatur rapi semua yg terlihat sebagai kekacauan tersebut....

Hmm... buat yang penasaran bisa baca sinopsisnya disini....

Labels:

Persepsi

1/09/2009 06:15:00 AM / / comments (0)

Copass dari sebuah milis, sumbernya kurang tau tp ceritanya menginspirasi ^-^

==========================================================

Ada seorang ayah yang menjelang ajalnya di hadapan sang Istri berpesan DUA hal kepada 2 anak laki-lakinya :

- Pertama : Jangan pernah menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadamu.
- Kedua : Jika pergi ke toko jangan sampai mukanya terkena sinar matahari.

Waktu berjalan terus. Dan kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedangkan yang bungsu menjadi semakin miskin.

Pada suatu hari sang Ibu bertanya kepada kedua orang anaknya mengapa hal itu terjadi kepada mereka.

Jawab anak yang bungsu :

"Ini karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, akibatnya modalku susut karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih".

"Juga Ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong, padahal sebetulnya saya bisa berjalan kaki saja, tetapi karena pesan ayah itu, akibatnya pengeluaranku bertambah banyak".

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, sang Ibu pun bertanya hal yang sama.

Jawab anak sulung :

"Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena Ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak pernah menghutangkan sehingga dengan demikian modal tidak susut".

"Juga Ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam.
Karenanya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup."

"Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris, karena mempunyai jam kerja lebih lama".

=====================================================

pesan yang sama, persepsi yang berbeda, hasil yang berbeda pula... :)
sahabat, bagaimana anda memandang "pesan" yang datang dalam hidup anda ?

Labels:

Hanya Menyadari Saja, Tidak Memadamkan

1/05/2009 09:50:00 AM / / comments (0)

(wejangan Bhante Pannyavaro pada pembukaan retret akhir tahun di vihara mendut, magelang)

Dr. Hudoyo pembimbing meditasi,
Para Ibu, Bapak, Saudara peserta meditasi pada akhir tahun 2008 ini,

Sebagai Kepala Vihara Mendut, saya mengucapkan selamat datang kepada para peserta. Bagi para peserta yang sudah beberapa kali mengikuti meditasi di vihara ini, tentu ini selamat datang untuk yang kesekian kalinya. Bagi Ibu, Bapak & Saudara yang baru pertama kali mengikuti meditasi ini, tentu selamat datang yang pertama bagi Ibu, Bapak, Saudara. Selamat datang di Vihara Mendut untuk melatih diri mengenal meditasi dan sekaligus melatih meditasi.

Para Ibu, Bapak , Saudara,

Semua orang tentu menginginkan hidup bahagia. Kebahagiaan menjadi obsesi, menjadi tujuan hampir semua orang, apa pun agama, kepercayaan, tradisi, atau adat-istiadatnya. Kemudian, tiap-tiap orang berusaha untuk membuat rincian, meskipun mungkin tidak mendetail, gambaran apakah bahagia yang mereka inginkan? Apakah bahagia yang kita harapkan? Seperti apakah
kebahagiaan itu?

Ibu, Bapak & Saudara,

Cita-cita atau harapan kebahagiaan itu kemudian diusahakan untuk dicapainya. Sesungguhnya, harapan atau keinginan untuk bahagia itu kemudian menumbuhkan keinginan-keinginan yang sangat banyak. Mengapa keinginan-keinginan lain tumbuh sangat banyak? Keinginan-keinginan itu tumbuh seiring dengan usaha untuk mencapai hidup bahagia?

Apa yang menjadi fenomena, apa yang menjadi gejala kemudian? Sesungguhnya, yang terjadi kemudian adalah ketidakbahagiaan. Mengapa? Karena keinginan atau harapan untuk bahagia itu justru membuahkan penderitaan. Harapan menimbulkan kegelisahan, harapan menimbulkan kekhawatiran, harapan membuat seseorang, kita semua, waswas, dan kalau tidak terpenuhi, kecewa.

“Tetapi, Bhante,” ada yang menanyakan, “kalau keinginan atau harapan itu terpenuhi, bukankah kita bahagia?” Ya, kita bahagia sebentar, karena tidak ada bahagia yang abadi. Dan kalau bahagia sebentar itu lenyap, maka timbullah ketagihan, kecanduan, keinginan yang lebih berkobar-kobar.

Sesungguhnya, Ibu, Bapak & Saudara, kebahagiaan yang benar, dan “kebahagiaan” ini harus ditulis dengan tanda petik, tidak dicapai dengan keinginan. Kebahagiaan yang benar justru akan tumbuh—begitulah bahasa yang boleh kita pakai—kalau keinginan dikurangi. Bukan dengan menambah keinginan lalu tercapai, itulah kebahagiaan. Bukan! Tetapi dengan berkurangnya keinginan, lenyapnya keinginan, justru itulah kebahagiaan yang benar.

“Apakah mungkin, Bhante, melenyapkan keinginan, membuang keinginan, hidup di masyarakat, baik sebagai bhikkhu, rohaniwan ataupun sebagai perumah tangga?” Memang sulit, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita hanya selektif, menyeleksi keinginan. Mengapa? Karena kalau keinginan bertambah, maka masalah bertambah. Kalau masalah bertambah, penderitaan bertambah. Ini bukan dalil agama, Ibu, Bapak & Saudara, ini adalah hukum alam. Kalau Ibu, Bapak & Saudara menambah keinginan, menambah harapan, maka waswas bertambah, gelisah bertambah, kekhawatiran bertambah, kekecewaan bertambah, penderitaan bertambah. Tetapi kalau keinginan dikurangi, maka masalah juga akan berkurang. Kalau masalah berkurang, ketegangan juga berkurang. kekhawatiran berkurang, penderitaan berkurang.

Tetapi, Ibu, Bapak & Saudara, selama Ibu, Bapak & Saudara tujuh hari mengikuti meditasi di vihara ini—meditasi yang kita kenal dengan nama Meditasi Mengenal Diri, atau boleh juga disebut meditasi Vipassana, atau hanya meditasi saja, karena nama tidaklah penting—Ibu, Bapak & Saudara bisa berlatih dan mengalami, untuk membuang hampir semua keinginan. Tidak perlu memikirkan besok masak apa, apa yang harus disiapkan, apa yang harus dikerjakan, karena semua sudah disiapkan oleh vihara ini, sederhana sudah tentu, sesuai dengan kemampuan kami, untuk membantu Ibu, Bapak & Saudara mempunyai latihan dan mengalami kondisi atau dimensi membuang keinginan secara maksimal. Tentu ada keinginan, tetapi keinginan itu keinginan yang fungsional, seperti ingin ke belakang, ingin melangkahkan kaki, makan pagi sebagai kebutuhan untuk kelangsungan fisik kehidupan ini, makan siang,
berbaring—keinginan-keinginan fungsional yang sangat terbatas. Keinginan yang lain ditiadakan.

Tetapi apakah mudah? Tidak. Meskipun Ibu, Bapak & Saudara, dan kita sudah bersepakat, selama tujuh hari ini saya tidak ingin mempunyai keinginan apa-apa; keinginan yang ada hanya sesedikit mungkin, keinginan-keinginan fungsional sehari-hari. Meskipun sudah disepakati seperti itu, keinginan itu muncul saja, mengganggu pemikiran kita. Bahkan mungkin semakin hebat, semakin hebat; apalagi Ibu, Bapak & Saudara yang belum pernah melatih meditasi, dan kali ini adalah kali yang pertama, dengan waktu yang cukup panjang, tidak hanya Jumat, Sabtu, Minggu, tetapi satu minggu.

Lalu, bagaimana cara kita untuk membuang keinginan itu? Membuang keinginan tidak dengan sederhana berucap, “Aku tidak ingin punya keinginan.” Dalam bahasa kasar, “Lho, mengapa masih muncul saja keinginan? Bukankah aku sudah sepakat untuk tidak mau punya keinginan?” Biar, Ibu, Bapak & Saudara, biar. Tidak usah marah, tidak usah merasa tidak berhasil. Tidak
usah menyalahkan diri sendiri, mengapa keinginanku masih saja berkobar-kobar, tidak bisa dibuang; dikurangi saja tidak bisa. Tidak usah marah, tidak usah menyalahkan diri sendiri, tidak usah kecewa. Keinginan yang muncul itu juga tidak usah dipadamkan. Dalam bahasa sehari-hari,
“Lho, mengapa tidak dipadamkan? Tadi di depan dijelaskan, keinginan harus dikurangi, dibuang sampai maksimal. Sekarang kalau keinginan muncul mengapa tidak boleh dipadamkan?” Kalau Ibu, Bapak & Saudara berusaha untuk memadamkan keinginan itu, maka ributlah pikiran ini. Keinginan yang muncul dilawan dengan keinginan untuk tidak mau punya keinginan. Maka keinginan perang dengan keinginan. Pusinglah, ramailah pikiran kita.

Meditasi hanya mengamat-amati saja, menyadari kalau keinginan muncul, keinginan ini keinginan itu, ingatan ini ingatan itu, mau seperti ini mau seperti itu. Tugas kita bermeditasi hanya menyadari saja; tidak memadamkan, tidak menggempur, tidak menganalisis dari mana datangnya, tidak merentang-rentang apakah ini wahyu, apakah ini vision, tidak. Kita hanya menyadari saja, menyadari dengan pasif, menyadari dengan pasif. Nanti keinginan-keinginan itu padam sendiri. Padam bukan dengan keinginan untuk dipadamkan, hanya disadari, disadari, disadari saja.

Itulah secara garis besar latihan Ibu, Bapak & Saudara selama seminggu ini. Tidak perlu doa, tidak perlu meminta-minta, tidak perlu mengharap berkah dari siapa pun, tidak ada ritual-ritual, upacara-upacara yang harus ditaati. Tetapi sadarilah pikiran, perasaan, jasmani; jasmani, perasaan, pikiran. Guru-guru meditasi sering menulis, kemukjizatan itu bukan kalau
kita bisa terbang, kemukjizatan itu bukan kalau kita bisa melihat makhluk-makhluk halus, kemukjizatan itu bukan pada saat kita duduk meditasi mengalami yang aneh-aneh; tetapi kemukjizatan itu pada waktu kita berjalan kita menyadari langkah kaki kita yang menempel di bumi ini; itulah kemukjizatan, kalau hal itu boleh disebut kemukjizatan.
Kemukjizatan bukan membaca pikiran orang, melihat makhluk halus, pergi ke alam lain, melainkan mampu menyadari timbulnya pikiran sendiri apa pun juga, mampu menyadari timbulnya perasaan sendiri apa pun juga.

Oleh karena itu, di dalam meditasi ini semua menjadi obyek: pikiran yang disebut baik, tidak baik, pikiran bagus, pikiran luhur, pikiran dosa, pikiran jorok, ingatan masa lalu, kenangan yang pahit, kenangan yang manis, khayalan, rencana segala macam, semuanya mempunyai fungsi yang sama: diperhatikan. Pikiran yang baik juga diperhatikan, pikiran yang buruk juga diperhatikan.
Dan tidak usah dinilai: ini baik, ini buruk. Perasaan senang timbul juga diperhatikan, perasaan tidak senang timbul juga diperhatikan; perasaan sedih timbul diperhatikan, perasaan gembira timbul juga diperhatikan, tidak dicegah, tidak dibesar-besarkan. Dan tidak usah diberi nama: “O, ini senang; o, ini tidak senang.” Untuk menjelaskan, memang, saya menggunakan kalimat: “Perasaan senang diperhatikan, perasaan tidak senang diperhatikan.” Tetapi di dalam praktik, sadari saja. Tidak usah diberi label, diberi nama: “O, ini senang, ini tidak senang.” Karena kalau kita memberikan nama, nanti kekuatan senang menjadi lebih besar, kekuatan tidak senang menjadi lebih besar. Kita lebih serakah pada yang menyenangkan, kita lebih benci pada yang tidak menyenangkan, karena konsep senang dan tidak senang dipertajam dalam meditasi dengan memberikan label, “O, ini senang, ini tidak senang.”

Jadi, kalau ada perasaan yang mengganggu, disadari saja, “O, perasaan begini,” sudah cukup. “O, pikiran muncul; o, pikiran muncul,” cukup. Di dalam penjelasan-penjelasan bahkan dikatakan, dalam meditasi yang sering dikenal dengan sebutan vipassana itu, pada tingkat-tingkat tertentu di dalam teori dikatakan akan timbullah yang disebut nyana, pengetahuan bukan dari hasil pemikiran intelektual, bukan dari hasil berfikir, tetapi hasil dari meditasi. Pengetahuan hasil meditasi itu pun juga kotoran batin yang halus, vipassana-upakilesa. Jadi, apa fungsi kita? Fungsi kita hanya menyadari saja, menyadari, pasif, menyadari, pasif. Tidak menjadi kebanggaan, tidak menjadi sesuatu yang sangat luar biasa. karena kalau dikelompokkan pengetahuan yang muncul dari meditasi itu juga kelompok kotoran batin yang halus. Jadi diperhatikan saja.

Dengan memperhatikan, memperhatikan, memperhatikan, maka keinginan itu akan padam, padam, padam. Padamnya keinginan itulah lenyapnya penderitaan. Istilah ‘lenyapnya penderitaan’ lebih tepat kalau ingin digunakan, daripada menggunakan “kebahagiaan”. Lenyapnya penderitaan itulah “kebahagiaan yang benar” dalam tanda petik. Daripada menggunakan istilah “kebahagiaan”, ‘lenyapnya penderitaan’ menjadi kalimat yang lebih tepat
untuk menamakan padamnya keinginan.

Ibu, Bapak & Saudara,

Gunakanlah waktu tujuh hari ini untuk mengamati jasmani, langkah kaki, nafas, perasaan yang timbul, pikiran, termasuk ingatan, kenangan. Tidak usah tegang, tetapi tidak malas. Dalam bahasa Jawa dikatakan jangan ndlenger. Dalam bahasa gaul, banyak anak-anak muda yang ikut meditasi, mereka mempunyai istilah, “O, kalau kita ingin ikut vipassana, ingin ikut MMD ini, harus ‘sersan’,” katanya. Apa itu ‘sersan’? Serius tapi santai. Kalau serius saja, maka nanti keinginan akan muncul, keinginan “Saya ingin bermeditasi sungguh-sungguh, saya ingin membuang keinginan sungguh-sungguh,” apalagi kalau, “Saya ingin mendapatkan pengalaman yang aneh-aneh.” Serius. Ya, keinginan justru berkembang, bertambah, bukan berkurang. Tetapi kalau santai, tidak menghadirkan kesadaran, santai saja, banyak tidur—kalau nanti tidur di ruang tidur tidak enak, ya duduk di tempat meditasi tetapi tidur—ya, itu terlalu santai. Meditasi menghadirkan kesadaran dengan wajar; menghadirkan kesadaran itu yang oleh anak-anak muda di katakan serius, tetapi wajar, wajar itulah santai. Serius tapi santai, santai tapi kesadaran harus hadir.

Ibu, Bapak & Saudara,

Semogalah selama tujuh hari, Dr. Hudoyo akan mendampingi, memberikan bimbingan, Ibu, Bapak & Saudara akan mendapatkan kemajuan. Kalau saya menyebutkan ‘kemajuan’ di sini adalah mampu melihat pikiran, mampu melihat perasaan, mampu melihat gerak-gerik jasmani dengan kesadaran. Paling tidak kita mengalami berkurangnya keinginan. Pada saat keinginan berkurang itulah mulai bebas dari penderitaan.

Dan nanti setelah selesai meditasi ini, Ibu, Bapak & Saudara pulang ke rumah, Ibu, Bapak & Saudara bisa menggunakan pengalaman selama tujuh hari ini untuk menghadirkan kesadaran dalam keseharian. Karena tidak ada gunanya mengikuti retret kalau kesadaran dalam keseharian tidak dihadirkan.

Apalagi di antara saudara-saudara kita ada yang bangga, “O, saya sudah ikut retret sepuluh kali, Anda baru berapa kali, baru dua kali?” Tidak menjadi ukuran, sepuluh kali atau dua puluh kali ikut retret, tidak menjadi ukuran sejauh mana penderitaan berkurang, kebebasan bisa dialami.
Tetapi menghadirkan kesadaran itulah yang penting, di vihara ini maupun dalam kehidupan Ibu, Bapak & Saudara sehari-hari.

Semogalah latihan ini bermanfaat. Terima kasih.

Labels:

Mendut, when the time stood still

1/05/2009 06:45:00 AM / / comments (2)


Saya tidak mengerti apa yang saya cari disini.
Lagi pula, mengapa saya merasa harus mencari sesuatu?
Mungkin saya hanya ingin mencoba membanding2kan dengan "teknik-teknik memperbaiki hidup" yang pernah saya ikuti sebelumnya.
Saya memulai dengan keraguan.
7 hari, tanpa handphone, jam, dompet.
larangan berbicara kecuali satu jam diskusi malam.
bangun jam 3 pagi, tidur jam 10.
diantaranya dipenuhi meditasi duduk, berdiri, duduk, dan berbaring.
makan sehari dua kali, hanya pagi dan siang tanpa makan malam.
kalau saya tahu lebih dahulu aturannya seperti ini, mungkin saya akan jerih terlebih dahulu.

Hari pertama adalah neraka.
Saya bergelut dengan rencana2 yang ingin dikerjakan selepas retret ini.
Pikiran saya mengayun luas, mencari tiap selah untuk efektifitas dan efisiensi.
Kemudian muncul pengetahuan tentang masa lampau.
Tentang trauma, tentang rasa ingin menyalahkan, tentang dendam, tentang cara pembalasan.
Kemudian muncul tentang nafsu. Nafsu keserakahan, nafsu birahi masa muda, nafsu tidak ingin kalah, nafsu ingin selalu dianggap hebat.
Lalu deraan fisik, punggung, kaki, tidak betah, bosan, dll
Semua datang silih berganti dan saya sebagai pengamat ingin turut mencampuri.
Yang ada adalah konflik yang hebat.
Saling mengalahkan, saling mengontrol, saling mencoba menguasai.

Hari kedua kurang lebih sama dengan hari pertama.
Larangan berbicara membuat saya bisa lebih banyak mengamati pikiran. Dalam kesadaran mengamati, maupun tidak.
Karena seringkali saya terseret dalam rencana masa depan.
Merasa hebat dan aman dengan segala rencana dan langkah-langkah persiapan untuk kemungkinan yang bakal terjadi.
Kemudian merasa cemas krn kemungkinan lain yang dimunculkan oleh pikiran saya.
Juga sedikit triger bisa menyeret pada lamunan masa lampau.
Terombang-ambing di masa depan dan masa lalu.
Lupa tentang saat ini.
Hari kedua ini saya mengalami momen melambat pada saat meditasi jalan.
Hanya beberapa detik saya merasakan ada "sesuatu".
Dan ketika saya melihat tangan saya, rasanya seperti melihat lukisan.
Karena saya tidak merasa ada jarak antara tangan dan background paving block dibelakangnya.
Hanya beberapa detik.

Hari ketiga.
Bulan-bulan awal berkenalan dgn meditasi ini membuat saya merasa mendapat banyak kebijaksanaan.
Selanjutnya saya menggunakan meditasi sebagai teknik untuk mencapai kebijaksanaan.
Kemudian disusul dengan masa-masa dimana kebijaksanaan tidak lagi berbicara kepada saya.
Saya bertanya2 mungkinkah ada yang salah?
Dan diawal retret Bhante Pannyavaro bercerita bahwa apa yang didapat dari meditasi(nyana-nyana) adalah merupakan kotoran pikiran.
Tidak perlu senang berada didalamnya.
Saya tidak pernah mengalami nyana-nyana, tp mungkinkah kebijaksanaan yang saya dapat adalah juga kotoran pikiran?
Dan hal itu terjawab di hari ketiga.
Ketika didalam meditasi duduk saya merasa ada "sesuatu".
Lalu saya membuka mata dan mendapati Dhammasala tempat saya bermeditasi adalah sebuah aliran.
Pemeditasi yang ada didepan saya, disamping saya, patung budha, vas bunga, gorden, pintu, dan kesemuanya berada dalam aliran besar itu.
Tidak ada yang patut dilekati.
Tidak ada yang bisa dipegang erat2.
Tidak ada yang kekal abadi, juga kebijaksanaan ini.
"Dan semuanya adalah fana, kecuali Wajah Tuhan-mu"

Hari ke-empat dan ke-lima adalah lambat.
Gerak saya melambat. Jalan saya melambat. Pikiran saya melambat.
Sering saya berhenti sewaktu berjalan.
Menikmati angin, menikmati pikiran yang melambat.
Melihat keindahan di ruas-ruas pohon kelapa.
Melihat keindahan di jambangan ber-teratai.
Mendengar ceracau burung gereja.
Waktu itu hujan.
Dan saya menikmati tiap tetes hujan yang bisa saya cerap dengan indera.
Bunyi yang terdengar ketika menjatuhi payung.
Tetes2 yang ada di paving block didepan saya.
Cipratan2 air yang terciprat di kaki saya.
Lalu saya merasa ingin menyapa semuanya.
Semua tetes hujan itu.
Semut2 yang berlarian di tembok.
Lumut2 di sela-sela paving block...
saya ingin menyapa semua...
hai...hai...hai...
saya ingin tersenyum pada tiap dahun basah,
saya ingin menciumi satu persatu semut2 itu....
hai...hai...hai...
tiap rumput, tiap semak yang terlihat, tiap lambaian bunga yang dimainkan oleh angin...

Lalu semua tawar.
Apa adanya.

Jalan saya lambat sekali sampai pikiran bertanya:
- kaki apa ga pegel?
- pegel sekali
- kalau jalan lambat begini kapan nyampe nya?
Diam...
Lalu saya mengerti bahwa disana adalah ilusi.
Yang ada adalah "disini" yang bukan lawan dari disana.
Mengetahui itu maka konsep ruang pun menjadi kacau...
Menyisakan penghayatan bahwa saya ada disini...

Hari keenam saya tidak bisa mengingat.
mungkin ada sesuatu yang terjadi.
mungkin tidak terjadi apa-apa.
mungkin saya banyak tersadar.
mungkin saya banyak melamun.

Hari ketujuh saya mengalami kejadian aneh.
Sepertinya ada tiga kejadian.
Tapi saya hanya ingat satu.
Ada dua objek yang berjalan berbeda arah dalam pandangan saya.
Seorang lelaki dan seorang perempuan.
Lelaki berjalan ke Timur.
Perempuan berjalan ke Utara.
Mereka berjalan pada kecepatan yang relatif sama dan konstan.
Sepertinya sesuatu terjadi.
Tapi Si Perempuan telah menempuh jarak yang seharusnya tidak bisa dia tempuh dalam waktu dan kecepatan yang seperti itu.
Mungkinkah Si Perempuan mempercepat langkah?
Mungkinkah Saya melamun?
Tetapi kejadiannya hanya sekejap.
Ah saya tidak tahu.

Sepertinya banyak kebijaksanaan yang saya dapat.
Tp semua sperti menguap entah kemana.
Banyak pengalaman yang ingin saya bagi.
Tapi toh yang paling penting adalah apa yang anda alami sendiri.

Yang saya tahu dalam tujuh hari ini saya menyadari bahwa seumur hidup saya selalu berusaha mengejar kebahagiaan.
Lalu mencari cara bagaimana memperpanjang kebahagiaan.
Atau terus-menerus berusaha berada dalam kebahagiaan.
Saya mengejar sesuatu yang bisa memberi saya kepuasan.
Dan jika hal itu kemudian hilang, maka saya mencari kepuasan dan kenikmatan yang lain.
Begitu terus menerus.

Mungkinkah pengejaran ini adalah karena saya tidak puas dengan apa yang ada?
Mungkinkah usaha selama ini adalah karena saya tidak mau menderita ?
Dan apakah itu yang saya labeli sebagai "derita" ?
Jika saya memandang apa yang ada tanpa melabeli-nya sebagai derita,
mungkinkah saya kemudian tidak memerlukan lagi pencarian akan "kebahagiaan sejati" ?

.......

....Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau....

.......


*Magelang, 24 Dec 08 - 01 Jan 09*

Labels: